Sengaja aku melipat selimut lebih cepat pagi ini. Rasa ngantuk tenggelam oleh hasrat untuk mengabadikan landscape desa dalam lensa. Bermodal kamera pocket sederhana, aku tenggelam oleh embun di atas rerumputan. Larut oleh siluet jingga yang kian jelas di ufuk timur. Ini yang membuatku selalu rindu untuk pulang. Halaman dengan hamparan rumput hijau. Walau sedikit kurang terawat, tetap saja memikat hati yang melihat.
Nama desaku Sungai Abang.
Abang adalah kata lain untuk orange yang mendekati merah. Nama ini diambil dari warna air yang mengaliri salah satu sungai di desaku. Menurut cerita kakek, air sungai merah karena darah korban perang pada jaman penjajahan. ‘Dulu warnanya lebih merah lagi, menyerupai darah.’ Ini selalu dikatakan kakek setiap kali aku bertanya perihal air sungai yang tidak jernih.
Setelah aku analisis dengan pengetahuan yang didapatkan di bangku sekolah, ternyata tanah di hulu sungai yang menyebabkan air menjadi abang. Sayang sekali, aku tidak memiliki kesempatan untuk mengabadikan air sungai yang abang. Kondisi geografis sungai yang dipenuhi semak belukar tidak memungkinkan untuk turun ke sungai.
Desaku terletak di pelosok Negeri Jambi. Daerah dataran rendah dengan suhu udara yang cukup panas saat siang hari dan lumayan dingin pada malam hari. Tidak ada transportasi umum yang melintasi desa. Hanya ada jalan kecil beraspal yang membentang menghubungi desaku dengan desa lain. Kondisi jalan yang tidak begitu ramai membuat udara desaku masih asri. Langit desa yang biru bersanding serasi dengan tumbuhan yang menghijau. Harmoni yang membuat betah mata memandang.
|
Jalan di depan rumah |
|
Lukisan langit di atas halaman samping |
|
We call it 'Kembang Jepang' |
|
Bunga rumput di halaman |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar