Tampilkan postingan dengan label Catatan Pribadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Pribadi. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Maret 2022

Pawang Hujan di MotoGP Mandalika

Sumber : Instagram @motogp

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pawang adalah orang yang mempunyai keahlian istimewa yang berkaitan dengan ilmu gaib seperti dukun, mualim perahu, pemburu buaya, dan penjinak ular. Sedangkan pawang hujan adalah orang yang pandai menolak hujan. Sebelum membuat penilaian, mari kita cari tahu bagaimana cara pawang hujan mengendalikan hujan? Pawang hujan tidak menghentikan hujan, tapi memindahkan atau menggeser hujan yang akan turun di lokasi tertentu ke lokasi lain. Dalam menggeser hujan, pawang hujan meminta bantuan atau bekerjasama dengan khodam, makhluk ghaib yang tinggal di barang pusaka. Khodam akan menjadi rekan pawang hujan untuk membantu memindahkan hujan agar tidak turun di tempat yang diinginkan.1 Menurut ajaran Agama Islam, apa hukum mempercayai pawang hujan? Berdosa2, tidak dibenarkan,3 dan syirik karena meminta kepada jin4. Apa bedanya meminta bantuan pawang hujan dengan meminta bantuan para ulama atau asatidz? Sangat berbeda. Pawang hujan menggunakan media seperti jin dalam berdo’a (komat-kamit membaca mantra) sedangkan para ulama atau asatidz hanya membantu atau memimpin sekelompok orang berdo’a (meminta) langsung kepada Allah agar tidak diturunkan hujan. Soal hujan atau tidak, pawang hujan dan ulama sama-sama tidak punya kuasa dalam mencegah turunnya hujan. Tapi soal berdosa atau tidak, jelas bahwa meminta bantuan pawang hujan adalah dosa karena menggunakan perantara untuk meminta kepada Allah SWT. Titik kritisnya adalah ulama tidak menggunakan perantara, sementara pawang hujan menggunakan perantara.

Apa bedanya pawang hujan dengan prediksi cuaca oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)? Dari arti bahasa saja sudah sangat berbeda. Perkiraan cuaca BMKG dilakukan oleh forecaster, yaitu seorang prakirawan cuaca, orang yang memprakirakan cuaca. Karena sifatnya hanya memprakirakan, maka hasilnya bisa benar atau salah. Sangat berbeda dengan penyebutan pawang hujan sebagai orang yang pandai menolak hujan. Pandai menolak artinya pandai mencegah hujan turun yang artinya orang tersebut punya kuasa untuk menolak hujan. Sedangkan forecaster tidak demikian, forecaster hanya memperkirakan, hasil akhirnya adalah kuasa Tuhan. Sekarang mari kita analisa dari sudut pandang sains. Forecaster menganalisa data hasil pengukuran, biasanya citra satelit atau radar cuaca. Data tersebut berupa tekanan udara, arah dan kecepatan angin, kelembapan dan suhu udara, serta suhu muka laut. Selain itu juga mempertimbangkan fenomena atmosfer seperti siklon tropis dan Madden Jullian Oscillation. Data-data tersebut akan dimodelkan dengan Numerical Model Prediction (Prediksi Model Numerik-karena prediksi maka hasilnya bisa benar atau salah). Jika dibahas lebih rinci, proses mengumpulkan data hingga dihasilkan perkiraan cuaca sangat kompleks dan melibatkan banyak alat, teori, dan perhitungan.5

*Pembahasan lebih lanjut bisa dibaca di sini.

Selasa, 22 Februari 2022

Bisakah CPNS Memperoleh Tugas Belajar?

Dalam setiap perjalan kita, ada banyak orang yang berjasa

Judul tulisan ini adalah pertanyaan yang saya tanyakan ke Google setelah melihat pengumuman kelulusan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjelang akhir tahun 2020. Saat itu, saya tidak melihat ada peluang untuk mendapatkan keduanya : menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan melanjutkan S3 dengan Beasiswa MEXT. Saya harus memilih salah satunya. Saat itu, saya memilih untuk menjadi ASN dengan pertimbangan saya masih bisa berjuang untuk mendapatkan beasiswa lain. Tidak dengan ASN, sekali mengundurkan diri, maka tidak akan bisa mendaftar lagi untuk selamanya. Berkat saran dari dosen pembimbing, pilihan tersebut tidak membuat saya berhenti untuk terus mencoba memperjuangkan keduanya. Perjuangan ini membuat saya harus membaca dan mempelajari aturan pemberian Tugas Belajar dan Izin Belajar untuk ASN di Indonesia. Tulisan ini saya buat untuk memberikan gambaran bagi teman-teman yang sedang menghadapi hal yang sama. Tapi ada satu catatan penting : masalah kita boleh sama, tapi belum tentu solusinya juga sama karena Tuhan punya rencana untuk setiap makhluk-Nya. Oleh sebab itu, jangan jadikan tulisan ini sebagai penunjuk jalan, apalagi lentera dalam kegelapan. Tulisan ini dibuat hanya sebagai wawasan teman-teman dalam membuat keputusan. 

Kamis, 26 Agustus 2021

My Research Journey (1)


Allah sebutkan dalam Al-Quran bahwa keberhasilan dan kegagalan akan dipergilirkan kepada manusia agar Allah mengetahui siapa yang paling beriman di antara mereka. Berhasil dan gagal adalah bagian dari takdir kehidupan. Hari ini, proposal penelitian yang kuajukan 3 bulan lalu tidak lolos pendanaan. Salah satu mimpiku adalah mendapat international research grants. Hari ini, mimpi itu belum nyata. Tidak apa-apa, belajar dari kesalahan dan semangat untuk berbenah diri. Suatu hari nanti, insya Allah namaku akan tertera di sini. Bismillah...

Selasa, 16 Februari 2021

Sebuah Catatan

Pagi, segeralah datang!

Biar terang, agar terlihat jalan.

Berdiri di persimpangan, kiri atau kanan.

Tuhan, tolong berikan ilham.

Agar kami tidak berbuat kesalahan.

Selasa, 08 Desember 2020

Closing 2020 With Gratitude, Please!

 

Catatan ini aku tulis untuk para sahabat yang bertanya bagaimana kondisiku. Sejujurnya aku bingung mau menjawab apa. Aku coba jelaskan. Semoga ceritaku menjawab pertanyaan teman-teman. Terimakasih sudah khawatir dan peduli. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan teman-teman. Siapapun yang membaca tulisan ini, mohon do'akan agar aku dan keluarga Allah berikan kemampuan untuk senantiasa bersabar dan bersyukur dalam menjalani hidup ini. Do'a yang baik juga kupintakan pada Allah untuk teman-teman. 

Sabtu, 07 November 2020

Langkah Pertama

Tulisan ini dibuat khusus untuk diriku dan mereka yang tidak pernah berhenti berjuang dalam merealisasikan mimpi-mimpi. Semangatlah dan yakinlah bahwa kita tidak pernah sendiri!

Rabu, 02 Januari 2019

Senja di Barat

Sore dibalut gerimis.
Tanah basah.
Air menggenang dalam cekungan.
Bumi sudah tak lagi haus.
Panas telah lama pupus.
Menyisakan Pak Tua duduk bersarung.

Daun menghampar.
Dahan bergoyang.
Dendang terdengar samar.
Entah itu burung, angin, atau bambu di tepi jalan.
Atau suara Pak Tua yang sedang girang.
Aku berjalan.

Jalan menuju barat.
Panjang, tapi sebentar.
Bersama angin muson.
Membawa hujan.
Membawa rindu.
Membawa kenangan, juga tangisan.

Barat, tempat kembali matahari.
Arah manusia menghadap Tuhan.
Kembali pada kebenaran.
Ke pangkuan Yang Maha Benar.
Barat, tempat kembali pulang.
Setelah melakukan perjalanan panjang.

Senja di barat adalah kerinduan.
Pada timur yang tertinggal.
Pada waktu yang disia-siakan.
Aku menyesal.
Mengapa dulu timur kuabaikan?
Timur adalah kelahiran.
Tempat pagi datang.
Tempat lahir matahari.
Tempat datang terang.
Simbol sebuah harapan.

Sekarang aku di barat.
Bersama senja yang mulai pudar.
Melihat ke belakang.
Hanya rindu yang tak bisa disampaikan.
Menyisakan kenangan.
Dibasuh hujan, dipeluk kabut, menguap, lalu hilang.

Timur harus kutinggalkan.
Saatnya kembali ke barat.
Tempat kembali pulang.
Tenggelam dalam gelap.
Tangan menggapai.
Ada dimana matahari?
Cahaya lenyap.
Ditelan malam.
Baru kurasakan sedihnya perpisahan.

Barat, simbol sebuah kematian.
Yang memadamkan matahari.
Yang melenyapkan terang.
Akhir sebuah perjalanan.
Barat menyampaikan pesan.
Pada manusia dan kesombongan.
Kecil, kerdil, tapi lebih angkuh dari matahari.
Tenggelam, tenggelam.
Oleh barat dan kematian.

Jumat, 05 Oktober 2018

Jalan yang Kupilih

-Teman-
Izinkan aku menumpahkan kegelisahan, di sela-sela rasa takut pada kehidupan. Khawatir jika nanti aku meninggalkan dunia ini tanpa bekal yang cukup untuk memasuki surga-Nya. Izinkan aku mengabadikan kecemasan, agar nanti ini menjadi catatan yang bisa mengingatkanku tentang visi-misi sebuah pekerjaan. Izinkan aku untuk merekam janji dan harapan, agar kelak bisa membangunkanku dari nyamannya kehidupan. Catatan kecil tentang sebuah keputusan, tentang jalan yang aku pilih untuk menjemput ridho Allah. Inilah sebuah kisah yang akan menjadi guruku kelak...

Serpong, 15 Juli 2018
Terik matahari menyambut hangat kedatanganku. Saat matahari sedikit tergelincir ke arah barat, aku menginjakkan kaki di bumi Serpong untuk pertama kali. Rasa asing dan haus menemaniku menunggu teman yang datang menjemput. Suasana yang cukup sepi untuk ukuran sebuah komplek, Batan Indah, komplek yang kelak menjadi domisiliku untuk sementara waktu.

Puspiptek, 16 Juli 2018
Tepat pukul sembilan pagi aku menapakkan kaki di Pusat Penelitian Fisika LIPI, instansi yang berulangkali aku sebut sebagai tempat kerja impian. Menjadi peneliti, profesi yang menurutku begitu menggairahkan. Inovasi dan kebaharuan seolah menantangku agar menjadi lebih pandai. Pekerjaan yang sudah sejak lama aku impikan, menjadi bagian dari lembaga penelitian. Namun, realita tak seindah angan-angan masa lalu. Pekerjaan yang menurutku ideal menuntut banyak pengorbanan. Uang saku yang tidak memadai, lingkungan yang 'terisolir', biaya transportasi yang mahal, dan pekerjaan yang santai memintaku menjadi manusia yang lebih sabar. Bagaimanapun, alat karakterisasi yang begitu mengesankan berhasil menahanku untuk tetap tinggal.

September, 2018
Pemerintah mengumumkan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dengan kualifikasi pendidikan Magister Fisika, ada banyak formasi yang bisa aku lamar. Termasuk LIPI, instansi yang sekarang menjadi tempat aku belajar. Dalam gelisah menentukan pilihan, aku menyerahkan semua saran dan keputusan pada ridho orang tua. Selama ini, semua pencapaian yang aku dapatkan adalah hasil do'a dan saran orang tua. Karena alasan agar bisa memberi manfaat lebih, orang tua lebih ridho jika aku melamar sebagai Dosen Fisika Universitas Andalas. Inilah jalan yang aku pilih. Ya Allah, mohon dengarkan cerita dan kabulkan pintaku...

Mel, mengapa memilih jalan menjadi pengajar? Mengapa memilih mencoba menjadi dosen dan menepi dari riuh ramainya perkotaan?

Ya Allah, mohon dengarkan jawabanku. Aku mencintai dan bermimpi menjadi peneliti profesional. Mengeksplorasi kebaharuan adalah pekerjaan yang menyenangkan. Bermain bersama alat-alat karakterisasi, material mahal, dan diskusi bersama peneliti ternama adalah tujuan yang sejak dulu ingin aku rasakan. Tentu semua ini akan lebih sulit aku wujudkan jika memilih menjadi pengajar dan kembali ke daerah. Namun, beberapa kalimat orang tuaku berhasil meletakkan kembali mimpi-mimpi yang sudah lama aku rangkai. 

Nak, kamu tidak lahir di ranjang rumah sakit. Hadirmu di dunia tidak disambut oleh dokter atau perawat. Tangisan pertamamu tidak menggema dalam sterilnya ruang bersalin, tapi di tangan nenekmu. Dengan peralatan seadanya nenekmu membantu ibu mengantarmu ke dunia. Tidak ada antiseptik, vaksin, analgesik, bak mandi, kamar tidur bayi, apalagi sesi fotografi. Hanya baskom, kain panjang lusuh, rimpang kunyit, dan gunting untuk memotong plasentamu. Tangismu pecah saat nenek menjilat dadamu yang masih berlumur darah. Tanpa rasa jijik dia lakukan itu untuk cucunya, dengan harapan itu akan membuatmu menjadi pintar dan mudah menerima pelajaran. Dengan ilmu yang sudah dipelajari, mungkin kamu akan tertawa dan mengatakan itu tidak steril dan tidak logis. Begitulah nenekmu, bertahun-tahun menjadi dukun beranak yang dibayar dengan beras, kain panjang, dan uang untuk membeli makanan ringan. Karena kemurahan hatinya, puluhan anak berhasil dia antarkan melihat dunia.

Nak, sekarang pemilik tangan itu sudah renta. Hampir satu abad usianya. Penglihatannya mulai kabur. Pendengarannya mulai bermasalah. Sifat bijaknya perlahan menghilang. Di antara sisa-sisa ingatannya, yang paling sering ditanyakannya adalah kamu. Katanya, kamu adalah cucunya yang paling pandai. Cucunya yang jarang pulang. Cucunya yang dia lepas ke rantau dengan tangisan. Harapannya sederhana, cucunya akan membantu orang lain dengan ilmu yang dia punya. Nak, Ibu bangga kamu menjadi peneliti. Walau ibu tak paham dengan cerita penemuanmu, Ibu senang melihat kamu menikmati pekerjaanmu. Walau Ibu tidak pernah tahu tentang alat yang kamu pakai, tentang eksperimen yang kamu rancang, Ibu bahagia melihatmu yang selalu antusias bercerita apa saja. Ibu bangga kamu mengoperasikan alat-alat mahal, alat-alat yang namanya saja belum pernah Ibu dengar.

Namun, ada satu fakta yang tidak bisa kita lupakan. Kamu lahir di antara anak-anak yang masih membutuhkan uluran tangan untuk dibimbing. Masa kecilmu dilewati bersama mereka yang mengubur mimpi-mimpi karena dipaksa keadaan. Ibu bangga kamu menjadi peneliti. Tapi Ibu akan lebih bangga jika anak Ibu memanfaatkan ilmunya untuk membantu orang lain di desa kita. Nak, selagi ada kesempatan, Ibu minta kamu mencoba. Soal hasil, kita serahkan pada Yang Maha Kuasa. Nak, cobalah untuk kembali dan mengabdi. Ibu rasa menjadi dosen tidak akan menghalangimu menjadi peneliti. Agar apa yang kamu pelajari lebih berkah, bantulah orang lain dengan ilmu yang kamu punya.

Begitulah mengapa aku mencoba mendaftar sebagai calon dosen, untuk membantu orang lain. Terutama orang-orang yang ada di desaku. Ya Allah, aku melangkah dengan ridho dan restu orang tua. Aku membawa harapan dan cita-cita nenekku yang sudah renta. Maka sekarang aku memohon ridho-Mu juga, agar jalan yang aku pilih bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya. Ya Allah, esok akan aku antarkan amplop berisi lamaran itu ke tukang pos. Di dalamnya juga terlampir do'a dan harapan orang tua, keluarga, dan penduduk desaku. Ya Allah, jangan Engkau tenggelamkan harapanku dan juga mereka dengan rasa kecewa. Aku mohon kemudahan dari-Mu dalam melewati semua proses seleksi ini. Mohon izinkan aku agar bisa memberi kabar bahagia di akhir seleksi nanti.

Ya Allah, aku tahu kemampuanku tidak seberapa dibandingkan orang lain yang juga mendaftar. Prestasiku tidak ada. Tidak ada kualifikasi yang diminta oleh Fisika Universitas Andalas yang bisa aku penuhi. Namun ya Allah, demi mebahagiakan orang tua dan agar bisa membantu mereka yang mengharapkan bantuan, aku gunakan satu kesempatan yang aku miliki untuk berjuang di jalan ini. Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Jika menjadi Dosen Fisika Universitas Andalas adalah yang terbaik untukku, yang akan membuatku menjadi manusia yang lebih baik di mata-Mu, maka aku mohon bantuan-Mu dan berikan kemudahan kepadaku dalam melewati semua tahapan seleksi. Jika profesi itu hanya akan membuat-Mu murka kepadaku, maka ya Allah aku mohon jauhkan aku darinya dan berikan aku ganti yang lebih baik dengan cara yang juga baik, serta berikan aku kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan dalam menerima kegagalan.

Ya Allah, jika sebelumnya Engkau izinkan aku memberikan kabar bahagia pada keluargaku, maka sekarang aku mohon izin-Mu agar aku kembali bisa mengabarkan berita bahagia terkait hasil seleksi nanti. Ya Allah, aku tidak tahu berapa besar usaha dan amalan yang dilakukan oleh orang lain di luar sana yang menjadi sainganku. Hanya memaksimalkan do'a dan usaha yang aku mampu. Aku mohon kemudahan dari-Mu dengan semua usaha dan kerja kerasku. Aku yakin, PNS bukan satu-satunya cara untuk menjemput rezekimu. Jika memang Engkau tidak izinkan aku untuk menjadi PNS, mohon berikan aku ganti yang lebih baik dengan cara yang juga baik. Karena Engkau Maha Mengetahui yang terbaik, maka kepada-Mu lah aku berserah diri...

Bismillah, dengan izin-Mu ya Allah aku akan melangkah.
  

Sabtu, 23 Juni 2018

Tentang Menjadi Mahasiswa ITB


Euforia kelulusan
Menjadi mahasiswa ITB,lulus dari ITB adalah mudah untuk beberapa orang. Tapi menjadi sulit bagi beberapa orang yang lain. Dan saya adalah bagian dari populasi beberapa orang yang lain.
Padang Panjang,2007
Warna-warni jaket almamater menghiasi lapangan upacara bendera. Kuning, merah, hijau terang, hijau gelap, donker, dan beberapa warna lain berjejer di salah satu sisi lapangan rumput sekolah kami. Mereka adalah alumni SMA yang berhasil lulus ujian masuk kampus favorit. Katanya, untuk memotivasi adik-adik kelas agar bisa mengikuti jejak mereka. Namun bisik-bisik teman dari barisan belakang menginterpretasikan kedatangan mereka adalah ajang unjuk diri atas pencapaian yang mereka buat. Mungkin bisik-bisik ini ada benarnya karena beberapa dari mereka memilih mundur atau pindah kampus setelah satu tahun berlalu. Tapi tidak sedikit juga yang melejit, punya prestasi selangit.

Saya sendiri jatuh hati pada almamater warna hijau lumut. Tidak butuh waktu lama saya tahu bahwa itu adalah almamater mahasiswa ITB. Sejak hari itu saya bertekad masuk ITB. Menurut kacamata saya waktu itu, hijau lumut adalah warna almamater paling cool, bersahaja. Warna yang sangat serasi dengan kecerdasan pemakainya. Maka jadilah saya anak kelas satu SMA yang menuhankan ITB dalam banyak hal. Bahkan saya membuat target yang agak kurang waras : menikah dengan alumni ITB. Saya seperti tidak melihat ada tempat yang lebih baik dari ITB.

Padang Panjang,2010
Beberapa bulan sebelum berakhirnya masa SMA, saya merasa siap bertarung memperebutkan kursi ITB bersama anak-anak Indonesia lainnya. Dengan gamblang, saya meminta restu orang tua untuk merantau ke tanah jawa. Ternyata apa yang saya harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Orang tua yang sebelumnya selalu mendukung setiap keputusan yang saya buat menolak dengan tegas impian saya menjadi mahasiswa ITB. Harga karet terus merosot hingga bertahan di titik kritis. Ekonomi keluarga berada di bawah garis ambang. "Ayah dan Mak tidak punya pilihan lain selain hanya mengijinkanmu kuliah di Sumatera Barat. Kita tidak punya pilihan lain. Adik-adik butuh sekolah. Kita butuh makan. UNAND atau UNP adalah kampus yang tidak kalah bagus dari ITB."

Saya marah pada keadaan. Selama satu minggu saya murung dan sering menangis. Saya juga tidak cukup berani untuk menentang orang tua. Sesekali saya tergoda dengan ajakan nekad teman-teman. Namun saya selalu urung untuk membandel karena teringat pesan guru Ridho Allah terletak pada ridho orang tua. Akhirnya saya pasrah dan kembali pada mimpi masa SD, menjadi mahasiswa Universitas Andalas. Namun mimpi saya menjadi mahasiswa ITB tidak pernah pudar. Saya bertekad bisa masuk ITB dengan restu orang tua.

Padang, 2015
Singkat cerita, saya lulus dari Jurusan Fisika Universitas Andalas dengan nilai yang cukup biasa. Tidak punya banyak prestasi atau pengalaman organisasi. Hanya karena do'a orang-orang yang menyayangi saya bisa lulus menjadi awardee LPDP. Saya termasuk awardee yang konsisten dengan pilihan perguruan tinggi, tidak pernah berpaling untuk mencoba kampus tujuan selain ITB. Bahkan saat disarankan untuk memilih kampus cadangan, saya tetap tidak bergeming. Sepertinya hati saya memang sudah terpaut pada ITB.

Bandung, 2016
Akhirnya Allah berbaik hati mengijinkan saya menjadi mahasiswa sekolah gajah. Antusiasme bertemu dengan orang-orang hebat membuat saya tidak sabar untuk segera memulai perkuliahan. Agustus 2016 adalah bulan pertama saya duduk di ruang Boscha Kampus Ganesha. Semuanya terlihat mengagumkan. Ruang kelas, papan tulis, kapur, para dosen, dan teman-teman. Semuanya adalah hal baru buat saya. Purnama berganti, saya mulai resah dan merasa tidak cocok dengan budaya ITB yang cukup keras. Perkuliahan yang sulit, tugas yang banyak, teman dengan kecerdasan yang membuat saya tertekan, nilai yang porak-poranda membuat saya berpikir bahwa ITB memang bukan tempat yang cocok buat saya yang santai dan suka bermain. Saya harus cepat-cepat lulus. Jadilah di setiap bagian yang bisa ditulis terpampang kalimat Juli 2018 harus wisuda.

Awal tahun, 2017
Saya memutuskan untuk segera mengerjakan tugas akhir. Dengan banyak pertimbangan saya memilih Laboratorium Energi dan Material Lingkungan, Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik ITB. Menurut saya, ini adalah Lab dengan budaya yang paling cocok dengan sifat dan kepribadian yang saya miliki. Setelah ratusan episode eksperimen, akhirnya Allah dan pembimbing mengijinkan saya mengikuti sidang akhir. Tidak terhitung berapa banyak kegagalan yang saya dapat, berapa gram urea dan asam sitrat yang sudah saya buang dengan sia-sia, menjelajah pasar teknik Cikapundung hingga terdampar di tempat pemotongan akrilik Pasar Baru, ada banyak drama yang sudah saya buat sebelum akhirnya dinyatakan lulus. Semuanya manis untuk dikenang, namun tidak untuk diulang. Akhirnya, saya menuju akhir dari sebuah mimpi menjadi mahasiswa ITB. Namun, perjalanan mimpi buat saya adalah perjalanan tanpa titik, tanpa mengenal kata usai.

Tinggal menghitung hari, status pengangguran akan bertengger di atas pundak, membersamai tanggung jawab yang kian besar. Ini bukan akhir dari sebuah perjalanan. Ini adalah awal untuk tanggung jawab yang lebih besar. Sebagai Sang Pemimpi, saya menanamkan nasehat Arai pada alam sadar dan bawah sadar yang saya miliki. Tanpa mimpi, orang-orang seperti kita akan mati. Buat sebagian orang, masuk ITB dan lulus dari ITB adalah hal mudah dan sederhana. Sayangnya, saya adalah bagian dari populasi yang lain. Tidak mudah menjadi mahasiswa dan lulus dari ITB, lebih tidak mudah menjadi alumnus ITB.

Saya tidak pernah takut untuk bermimpi dan tidak pernah takut ditertawakan karena mimpi-mimpi yang saya miliki. Sejak kecil saya sudah biasa ditertawakan atas apa-apa yang sudah saya lalui. Saya tidak peduli dengan sanjungan ketika berhasil, atau ledekan akibat gagal. Sedari kecil saya sudah biasa disanjung dan diejek karena keberhasilan dan kegagalan. Lain waktu, akan saya ceritakan lebih detail. Lalu sekarang bagaimana? Sekolah lagi? Mencari kerja? Atau apa? Entahlah. Saya adalah tipe orang yang suka mencoba segalanya dan menyerahkan keputusan akhir pada Allah Sang Maha Penguasa. Yang jelas, saya masih menyimpan banyak mimpi. Satu di antaranya adalah belajar di Benua Kangguru (Australia). Kapan dan bagaimana caranya? Entahlah, saya juga tidak tahu. Sama dengan tidak tahu-nya bagaimana cara menjadi mahasiswa ITB waktu itu.

Rabu, 04 Januari 2017

Lumbung Kebijaksanaan

Alm. kakek waktu muda (Datok Ayah)
Aku lahir di pinggir Provinsi Jambi, Duson Tabon. Sebagian besar penduduknya adalah penyadap karet, termasuk ayah dan ibuku. Proses kelahiranku ditangani oleh dukun beranak yang tidak lain adalah nenekku. Minimnya fasilitas kesehatan, sulitnya akses transportasi, dan uang yang terbatas membuat orang tuaku hanya mampu menyambut hadirku di kamar gelap milik seorang sahabat tanpa bantuan tenaga medis. Setelah pindah ke desa ibu, aku tumbuh dalam didikan ibu dan kakek. Jauh sebelum usia sekolah, ibu mengajarku menghafal surah-surah pendek, menulis, berhitung, dan membaca. Di zaman itu, ini adalah hal aneh di mata orang lain karena hampir semua anak di desaku baru belajar saat duduk di bangku sekolah dasar. Setiap magrib kakekku datang, mengajar salat dan mengaji. Setiap magrib juga aku menangis, berontak tidak ingin belajar bersama kakek. Ibu akan membujukku dengan ikan atau ayam goreng. Tangisku berhenti, semangat belajarku kembali lagi karena dua makanan ini sangat aku sukai, apalagi jika disantap tanpa nasi.
Nenek (Gdeh) : pemilik dua tangan yang pertama menyambut hadirku di dunia
Dua tahun sebelum masuk SD, ayah dan ibu memboyongku tinggal di ladang. Di gubuk sederhana yang jauh dari keramaian. Hari demi hari dilewati bersama ibu. Membantu ibu menanam padi atau sayur sambil berhitung. Saat malam, ibu akan membacakan cerita dari majalah Bobo bekas yang dibeli di pasar tumpah desa sebelah. Bila purnama datang, ibu bercerita tentang mitos mengapa sebagian bulan berwarna gelap. Sesekali, ayah mengajakku mancing di rawa-rawa yang ada di sekitar ladang. Atau masuk hutan saat musim jengkol datang. Tugasku adalah membantu ayah memasukkan buah jengkol ke dalam karung untuk dijual. Tidak jarang aku terjatuh karena jalanan yang licin disiram hujan. Jika bersama ayah, aku dilarang menangis. Ayah akan sangat marah jika aku menangis karena terjatuh atau sebab lain.
Rumah kakek, tempat tinggal masa kecil (setelah direnovasi), gambar diambil saat lebaran 2016
Karena tinggal jauh dari pemukiman, usiaku lebih enam tahun saat masuk sekolah dasar. Saat itu aku memiliki adik yang masih bayi sehingga ibu tidak bisa mengantar dan menjemputku ke sekolah. Ibu mendidikku berani untuk mengejar mimpi. Perjalanan ke sekolah tidak mudah untuk anak seusiaku. Sendirian menyusuri jalan setapak yang dikelilingi hutan dan semak belukar. Jika musim hujan, suasana makin mencekam karena tidak ada penduduk yang datang untuk bekerja di ladang. Sepanjang jalan aku melafalkan do’a dan surah-surah pendek yang dihafal. Gemuruh air yang mengalir membuatku semakin kecut. Apalagi jika jarak air dan jembatan kayu yang dilewati hanya tersisa beberapa senti. Pohon besar ditengah rawa semakin menakutkan. Aku tidak berani menoleh ke samping atau belakang, khawatir tiba-tiba ada makhluk yang mengikutiku diam-diam. Setakut apapun diriku, aku tidak pernah alpa datang ke sekolah. Ah, diriku yang dulu memang lebih rajin.
Bukan jalan yang dulu sering dilewati, hanya gambaran bagaimana semak di desaku
Bagian paling menyenangkan adalah saat musim buah datang. Setelah pulang sekolah, aku asyik mengumpulkan buah duku manis yang jatuh dari pohon. Kesenangan ini membuatku terlambat sampai di rumah. Setiap kali dimarahi ibu aku hanya cengengesan. Jika bertemu suku anak dalam, aku akan menghindar jauh-jauh. Apalagi jika mereka mendatangi gubuk kami, aku hanya mengintip lewat celah papan saat ayah berbincang dengan mereka. Banyak mitos tentang mereka yang beredar. Aku tidak mau menjadi korban.

Rumah ini juga sudah tidak ada
Hasil didikan ibu, aku menjadi siswa dengan kecerdasan di atas teman sebaya. Saat kelas 3 SD, kami pindah ke desa. Ladang berubah menjadi kebun karet. Setelah lulus SD, ayah dan ibu meyekolahkanku di kota. Jarak yang tidak dekat dari rumah, delapan jam perjalanan jika tidak hujan. Transportasi untuk pulang-pergi tidak gampang. Aku masuk SMP favorit berasrama. Setelah lulus dari SMA terbaik di Kota Padangpanjang, aku kuliah di Universitas Andalas. Tekad orang tuaku yang kokoh tak tertandingi mengantarku menjadi mahasiswa Pascasarjana Magister Fisika ITB. Pencapaianku hari ini adalah mahakarya ayah dan ibuku. Mereka menitipkan banyak filosofi hidup dalam setiap perjalanan masa kecilku. Belajar dengan gigih, semangat mengejar mimpi, serta jangan cengeng menghadapi setiap kesulitan adalah semangat yang mereka tanamkan sejak aku kecil. Karena setiap kesulitan yang dilalui akan mendatangkan kesempatan baru, tempat baru, dan pengalaman baru. Didikan keras ayah, kasih sayang ibu, dan kebijaksanaan almarhum kakek membawaku pada lingkungan yang mengajarkan banyak hal baru.  
*Banyak orang salah kaprah tentang aku dan adik-adik yang sekolah dengan biaya tidak murah. Mereka pikir orang tua kami kami kaya-rata, punya banyak harta guna menyekolahkan anak-anaknya. Mereka salah besar. Aku dan dua adikku sekolah ke kota sejak tamat SD merupakan pengorbanan tiada berhingga dari kedua orang tua. Banyak kesulitan dan kesedihan yang kami sekeluarga alami selama perjuangan ini, hanya saja kami tidak banyak bercerita. Banyak orang mengira aku bukan anak desa. Kata mereka pribadi serta gaya bicaraku sama sekali tidak 'kuno' dan sangat terbuka. Hm, itu karena ibuku selalu berpesan : jangan malu, apalagi minder untuk berteman dengan siapapun hanya karena kau tak punya apa-apa. Mereka semua adalah teman terbaik yang bersedia membantumu apa saja. Sebuah pesan yang sangat berkesan untukku hingga hari ini.
**Tulisan ini terinspirasi saat aku mendengar sebuah kabar : seorang mahasiswa putus asa, mengurung diri, tidak mau bertemu siapa saja karena merasa dirinya miskin tak berpunya, sedangkan teman-temannya kaya-raya sehingga memutuskan untuk berhenti kuliah dan meratapi nasibnya dalam kamar gelap yang makin pekat oleh kesedihan. Wahai adikku yang aku tidak tahu nama apalagi wajahmu, ketahuilah bahwa sikapmu tidak mengubah apa-apa. Rasa mindermu hanya mengubah mendung di pelupuk mata ibumu menjadi hujan. Pengorbanan ibu bapakmu terlalu berharga untuk kau rutuki. Hatimu terlalu dangkal jika menilai teman sedemikian adanya. Wahai adikku yang hanya bisa aku do'akan sepenuh jiwa, kamu bukan satu-satunya orang di luar sana yang hidupnya menderita. Mereka bertebaran dimana-mana, hanya saja mereka tidak pernah cerita apalagi sampai berputus asa. Benar adanya kita tidak bisa memilih dari rahim perempuan mana kita akan lahir, dalam pangkuan siapa kita akan tumbuh, atau tangan milik siapa yang memeluk kita saat kecil. Siapapun mereka yang diamanahkan Tuhan untuk membesarkan kita adalah orang tua terbaik yang pernah kita punya. Wahai adikku yang mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini, ada banyak jiwa yang memikirkanmu saat ini. Memikirkan bagaimana kau bisa kembali ceria.