Teh melati, teh kesukaanku
Selain Tuhan, Salman adalah saksi baik-buruknya diri ini sebagai mahasiswa. Datang ke Salman sebelum masuk waktu salat. Memanjangkan do'a, lalu dilanjutkan dengan makan di Gelap Nyawang. Sebuah misi tersembunyi agar bisa menunda kembali ke Lab. Ikut mabid di akhir pekan setiap awal bulan agar paginya ga perlu beli serapan. Nasi kotak Salman lebih enak dari masakan Ibu Warteg. Selain gratis, gizinya juga cukup dan dilengkapi dengan buah. GSG Salman juga hangat dan menenangkan untuk tidur. Salman adalah ruang rehat ternyaman dan teraman dari kejaran dosen. Terlebih saat Ramadhan. Salman adalah tempat bukber sebagian besar mahasiswa ITB. Membatalkan puasa dengan teh hangat dan tiga biji kurma. Memilih tempat salat paling strategis. Makan bersama di beranda masjid. Salat tarawih dalam kondisi belum mandi sejak pagi. Merdunya bacaan Imam Salman sering membuat mata ingin terpejam. Beberapa detik bahkan bisa hilang kesadaran (baca: tidur).
Teh hangat Salman selalu pas rasa dan takarannya. Tidak terlalu manis, juga tidak hambar. Dihidangkan dalam cangkir plastik sederhana dengan suhu yang paripurna. Menghangatkan hingga ke relung jiwa. Barangkali yang meracik menambahkan bubuk cinta. Setiap teguknya sukses membuat banyak hati terkesima. Tak ada yang menyoal berapa sendok gula atau menggunakan teh merek apa. Semua menikmatinya tanpa pernah bertanya. Setelah lulus, teh hangat Salman akan menghadirkan rindu, memanggil yang jauh agar kembali bertemu. Tapi perjumpaan tak semudah dulu. Jarak, pekerjaan, tanggung jawab, dan banyak hal dalam hidup membuat berkunjung menjadi rumit. Langkah tertahan oleh banyak alasan yang sulit untuk dijelaskan.
Sebagai pengobat rindu, aku akan memanaskan panci di atas tungku sore ini. Dapur mendadak mendung. Padahal di luar, langit sore sedang cerah. Suhu air yang terus meningkat membuat mataku ikut panas. Mungkin efek perpindahan kalor secara konveksi dan radiasi. Tes, satu bulir bening jatuh mengikuti hukum gravitasi Newton. Lalu aku buru-buru menyeka pipi. Tekanan uap menyebabkan tutup panci yang kurang rapat turut bernyanyi dalam sepi. Kletok, kletok, kletok, terdengar sumbang di telingaku. Di halaman depan, penjual putu keliling sedang lewat dan meneriakkan dagangannya, "Rindu...rindu..." Apa? Rindu? Jika rindu bisa dijual, semua manusia akan kaya. Begitu kata Mang Kimi, tukang sol sepatu yang ditinggal nikah oleh kekasihnya tiga tahun lalu. Kasihan, Mang Kimi tak punya cukup uang untuk menyewa pelaminan. Untuk membayar kontrakan saja, Mang Kimi perlu nabung selama berbulan-bulan.
Karena tidak tahu berapa suhu terbaik untuk menyeduh teh, aku memilih titik didih sebagai ukuran. Agar lebih wangi, aku tambahkan sebatang serai ke dalam air rebusan. "Neng, mau teh yang mana?" Suara Bu Randu mengembalikanku ke alam sadar. "Melati saja, Bu!" Jawabku ragu sambil menerka merk teh apa yang digunakan Salman. Aku sudah mencoba membuat teh dari puluhan merk yang dipajang di rak minimarket komplek perumahan. Tapi rasanya tak ada yang menyamai teh hangat Salman. Mungkin perbandingan gula, teh, dan airnya yang tidak seimbang. Barangkali teh hangat Salman diramu dengan rumus persamaan polinomial orde-n. Terlalu sulit untuk bisa ditiru oleh si pandir sepertiku. Persamaan Schrodinger satu dimensi saja tidak bisa kuselesaikan dengan benar. Akhirnya, kuputuskan untuk menakar sesuai perasaan. Sedikit gula pasir dan beberapa sendok madu dimasukkan ke dalam teko aluminium peninggalan nenek. Lalu disiram air rebusan serai yang sudah mendidih.
"Sudah, Bu. Kantong tehnya dibuang saja. Penelitian menyebutkan bahwa tidak baik merendam teh celup terlalu lama. Ada mikroplastik yang lepas dari kantong teh celup. Berbahaya untuk kesehatan." Kataku sambil menambahkan perasan jeruk nipis agar terasa lebih segar. Sembari Bu Randu menghidangkan pisang goreng madu dan gandasturi yang dibeli di Toko Gorengan Minah, kutuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir kaleng kesukaan kakek. Menurut Kakek, minum teh terasa lebih nikmat menggunakan cangkir jadul ini. Mungkin bukan soal tehnya, tapi kenangan yang kembali hadir saat Kakek menyuruput teh sambil duduk di beranda. Aku tidak berani banyak bertanya. Kakek yang senang guyon jadi lebih sensitif setelah tiga bulan meninggalnya nenek. Semua yang tinggal di rumah ini jadi lebih hati-hati saat berbincang dengan Kakek. Salah bicara membuat Kakek mengurung diri di dalam kamarnya selama berhari-hari. Perpisahan itu pasti, ditinggalkan atau meninggalkan, tapi kesedihan lebih banyak menjadi bagian mereka yang masih tinggal.
Lonceng angin yang tergantung di kusen jendela bergemerincing karena hembusan angin sore. Gemerisik daun bambu dari taman belakang seolah berbisik, "Tenang, semua akan baik-baik saja. Sedih akan pupus oleh waktu. Penerimaan akan menyembuhkan. Lubang kosong di dalam hati akan kembali terisi. Tak ada yang abadi di dunia ini, termasuk duka lara. Akan kembali masanya manusia kembali tertawa." Aku, Bu Randu, dan Kakek menikmati teh dalam diam. Masing-masing kami sedang mengeja masa lalu. "Enak, cukup mengobati lidahku yang rindu dengan cita rasa secangkir teh hangat Salman." Kataku setelah menyelesaikan tegukan terakhir. Terimakasih Bu Randu, terimakasih sudah menemaniku dan Kakek menyambut rindu.
*Tulisan ini kubuat sebagai salam rindu pada teman-temanku. Semoga Allah kembali pertemukan kita pada suatu waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar