Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 16 Februari 2021

Sebuah Catatan

Pagi, segeralah datang!

Biar terang, agar terlihat jalan.

Berdiri di persimpangan, kiri atau kanan.

Tuhan, tolong berikan ilham.

Agar kami tidak berbuat kesalahan.

Kamis, 12 November 2015

LELAKI PAYUNG

Adzan subuh berkumandang bersamaan dengan dering alarm. Dalam keadaan setengah sadar, aku mendengar titik hujan di atap. Mulanya pelan seperti bisikan. Lalu saling meningkahi dan berujung pada gemuruh berkepanjangan. Kubuka mata perlahan. Di sebelahku, adik menarik selimut dengan mata terpejam. Tak ada tanda untuk bangun. Lolongan alarm sudah ia matikan. Hujan di pagi hari memang demikian. Membuat betah di atas peraduan.
Aku tidak demikian. Selama tiga bulan terakhir, hujan pagi adalah harapan. Bahkan setiap malam sebelum memejamkan mata aku berdo’a, ‘Tuhan, turunkan hujan di subuh-Mu esok hari.’ Buku harianku dipenuhi cerita hujan di pagi hari. Payung, gerimis, secangkir coklat panas, roti bakar, selai coklat, dia, dan mendung yang aku tulis dengan tinta berbagai warna. Dalam catatanku, hujan pagi begitu indah. Sama indahnya dengan harapanku yang mekar ketika hujan.
“Kakak, tutup jendelanya. Ini dingin sekali.” Adikku ngomel karena bias-bias hujan masuk ke dalam rumah.
Beginilah aku setiap hujan turun di pagi hari. Lekas bangun dan buru-buru mandi. Dingginnya guyuran air adalah sensasi. Aku tak peduli. Beberapa menit lagi aku akan hangat kembali. Bukan karena secangkir coklat panas, atau roti bakar dengan selai coklat. Tapi karena dia yang lewat pada pukul enam tepat. Dia dan payung yang berjalan di bawah mendung.
“Kakak menunggu dia lagi? Lelaki yang lewat pada pukul enam tepat. Kakak sudah tahu namanya?” Adik bertanya dengan nada sedikit kesal. Ulahku pagi ini memaksanya meninggalkan alam mimpi. Aku sibuk menyiapkan diri setelah salat subuh. Keributan terjadi saat aku buru-buru dan tanpa sengaja menjatuhkan berbagai macam peralatan.
“Kita tidak butuh nama untuk menunggu seseorang.” Aku tersenyum, lalu menyeruput coklat panas yang aku pegang. Adik berlalu, meninggalkanku.
Hujan masih turun. Air mulai menggenangi pot-pot tanaman hias. Aku duduk tenang di teras. Roti bakar dengan selai coklatnya mulai lembab. Sengaja aku sisakan hingga dia lewat. Aku membuka buku harian sambil sesekali menatap ke ujung gang. Posisi teras yang menghadap gang sempit di depan rumah, membuatku tak perlu khawatir jika dia akan lewat tanpa sempat terlihat. Aku juga tak perlu takut ketahuan jika aku sengaja menunggunya lewat. Dia pasti berpikir kalau aku hanya duduk santai menikmati hujan sambil mengerjakan tugas. Jika dia lewat saat aku berjalan mondar-mandir di teras, gelisah kalau-kalau dia memilih jalan lain, aku cukup pura-pura membenarkan letak pot tanaman hias.
“Kakak, lelaki yang kakak tunggu belum lewat juga? Hampir lewat tiga puluh menit dari pukul enam tepat.” Adikku berteriak dari kamar. Dari napasnya yang buru-buru, aku tahu jika dia lagi sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah.
“Sebentar lagi. Dia pasti lewat.” Aku meyakinkan diri sendiri.
Benar saja, di ujung gang terdengar gemericik suara air dihempas sepatu seseorang. Perlahan aku menundukkan kepala. Pura-pura menulis di atas meja. Mataku melirik dirinya yang berjalan di bawah mendung. Pagi ini hanya dia yang bersinar. Dia berjalan dengan stelan jas rapi berwarna senada dengan kemeja biru tua. Garis tajam di celana hitamnya bergoyang setiap dia melangkah. Tidak lupa dia memakai dasi dengan warna serasi, hitam dengan garis-garis biru. Sepatu kulitnya terlihat basah oleh hujan. Namun tetap mengkilat seperti biasa. Satu tangannya menggenggam erat tas kantor berbahan dasar kulit. Satunya lagi memegang payung bermotif polkadot warna-warni. Walau terlihat kontras, aku menyukainya.
Dia adalah lelaki yang selalu aku tunggu saat hujan di pagi hari. Dia hanya lewat beberapa menit saja, namun membuat buku harianku penuh warna. Topi newsboy cap yang dia gunakan dengan setelan jas lengkap tidak membuatnya aneh di mataku. Aku semakin penasaran dengan profesi yang digelutinya. Aku selalu menyiapkan tinta berbagai warna untuk menggambar payung yang dia pegang. Aku menyebutnya lelaki payung. Bagiku dia berbeda dari lelaki kebanyakan. Dia dengan payung yang berbeda-beda. Aku menerka-nerka, mungkin dia memakai payung sesuai suasana hatinya.      
“Kak, payung mana? Aku mau berangkat.” Lagi-lagi adikku menggangu. Lelaki payung menoleh sebentar ke arah rumahku. Barangkali dia mendengar teriakan adikku.
“Di samping rak sepatu.” Aku balas berteriak pada adikku.
Tidak lama, adikku ke luar menuju teras, “ Lelaki yang kakak tunggu sudah lewat?” Sorot matanya menyiratkan rasa penasaran.
“Sudah. Itu, lagi di ujung gang ke luar.” Aku menunjuk dengan mulut sebagai isarat.
“Ayolah Kak, kapan lagi kakak mau melihatnya dari dekat? Kakak ikuti saja, pura-pura ke luar gang membeli sesuatu.” Adik menyemangatiku.
Berpikir beberapa detik lalu memutuskan sesuatu. Tidak ada salahnya aku mengikutinya. Toh, dia lewat di depan rumahku. Dia tidak akan curiga jika aku sengaja membuntutinya.
Setelah mengambil payung sesuai warna baju yang aku pakai, aku lari-lari kecil mengikutinya. Takut, kalau-kalau dia telah pergi jauh. Beruntung, di ujung gang terakhir sebelum jalan raya, dia masih berdiri menunggu. Hujan yang cukup deras membasahi sisi jas yang ia pakai. Payung polkadot warna-warni terlalu kecil untuk postur tubuhnya yang menjulang.
Aku berdiri beberapa meter di sebelah kananya. Sesekali aku menoleh ke arahnya. Barangkali dia sadar sedang kuamati. Beberapa kali dia juga menoleh ke arahku. Menatap dengan wajah penuh tanda tanya. Aku cuek saja. Ingin aku tersenyum padanya. Namun, aku tidak cukup berani untuk melakukan itu. Baginya, aku hanya orang asing dengan payung yang ia sendiri lupa dengan motifnya.
Beberapa menit menunggu hanya berlalu dengan saling menoleh. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Selama ini aku hanya bisa menunggunya lewat. Tiba-tiba, sebuah mobil warna silver metallic berhenti di depan kami. Dari mobil, ke luar seorang wanita dengan seragam kantor yang sangat rapi. Dia berlari-lari kecil menghampiri lelaki payung. Kedinginan tidak membuatnya enggan untuk tersenyum. Sepertinya lelaki payung cukup mengerti dengan maksud sang wanita. Buru-buru dia mengantar kembali sang wanita masuk ke dalam mobil. Lalu tergesa-gesa melangkah ke tepi jalan. Meninggalkan payung polkadot warna-warninya di ujung gang. Kemudian buru-buru kembali ke mobil. Sebelum menutup pintu mobil, dia sempat menoleh ke arahku. Sekilas terlihat seperti senyuman. Mungkin dia berbicara lewat tatapan, “Payung itu untukmu. Sebagai kenang-kenangan. Seperti yang biasa kau lakukan. Menungguku saat hujan, lalu mengikutiku dengan lari-lari kecil ke ujung gang. Dan mengambil payung yang selalu aku buang.”
Aku tertegun, menyadari kebodohan yang telah aku lakukan selama tiga bulan belakangan. Saat hujan di pagi hari, aku buru-buru bangun untuk menunggunya. Melihatnya menghilang di ujung gang, lalu lari-lari kecil mengambil payung yang ia tinggalkan. Berharap suatu pagi, saat hujan turun, dia akan menyadari payung yang aku pakai adalah payungnya yang tertinggal di ujung gang. Berharap dia akan menyapaku, “Maaf, sepertinya payung itu milikku. Aku lupa telah meninggalkannya di ujung gang. Terimakasih sudah menyimpannya untukku.” Betapa bodohnya diriku. Setelah mengetahui payung itu sengaja dibuang, aku tetap menunggunya seperti sebelumnya. Setidaknya, aku bisa memiliki payung berbagai warna.