Rabu, 02 Januari 2019

Senja di Barat

Sore dibalut gerimis.
Tanah basah.
Air menggenang dalam cekungan.
Bumi sudah tak lagi haus.
Panas telah lama pupus.
Menyisakan Pak Tua duduk bersarung.

Daun menghampar.
Dahan bergoyang.
Dendang terdengar samar.
Entah itu burung, angin, atau bambu di tepi jalan.
Atau suara Pak Tua yang sedang girang.
Aku berjalan.

Jalan menuju barat.
Panjang, tapi sebentar.
Bersama angin muson.
Membawa hujan.
Membawa rindu.
Membawa kenangan, juga tangisan.

Barat, tempat kembali matahari.
Arah manusia menghadap Tuhan.
Kembali pada kebenaran.
Ke pangkuan Yang Maha Benar.
Barat, tempat kembali pulang.
Setelah melakukan perjalanan panjang.

Senja di barat adalah kerinduan.
Pada timur yang tertinggal.
Pada waktu yang disia-siakan.
Aku menyesal.
Mengapa dulu timur kuabaikan?
Timur adalah kelahiran.
Tempat pagi datang.
Tempat lahir matahari.
Tempat datang terang.
Simbol sebuah harapan.

Sekarang aku di barat.
Bersama senja yang mulai pudar.
Melihat ke belakang.
Hanya rindu yang tak bisa disampaikan.
Menyisakan kenangan.
Dibasuh hujan, dipeluk kabut, menguap, lalu hilang.

Timur harus kutinggalkan.
Saatnya kembali ke barat.
Tempat kembali pulang.
Tenggelam dalam gelap.
Tangan menggapai.
Ada dimana matahari?
Cahaya lenyap.
Ditelan malam.
Baru kurasakan sedihnya perpisahan.

Barat, simbol sebuah kematian.
Yang memadamkan matahari.
Yang melenyapkan terang.
Akhir sebuah perjalanan.
Barat menyampaikan pesan.
Pada manusia dan kesombongan.
Kecil, kerdil, tapi lebih angkuh dari matahari.
Tenggelam, tenggelam.
Oleh barat dan kematian.

Tidak ada komentar: