Bersama adik-adik di depan Panti Asuhan Mitra Muslim Bandung |
Pertama kali saya mengenal KAMIL Mengajar melalui teman organisasi. Awalnya, saya tidak tertarik karena khawatir berinteraksi dengan anak-anak nakal. Namun, rasa sungkan menolak ajakan teman memaksa saya untuk datang. Pagi Minggu pada Desember 2016, pertama kali saya menginjakkan kaki di panti asuhan yang terletak di belakang Taman Bukit Ligar ini. Dari ITB, butuh waktu sekitar satu jam perjalanan dengan angkutan umum untuk bisa mencapai tempat ini. Pelan tapi pasti, angkot yang kami tumpangi membelah jalan Cigadung yang berliku dan naik-turun. Pusing dan membuat mual. Saat sampai di tujuan, kami disambut oleh adik-adik yang ramah dan sopan. Saya merasa bersalah telah berprasangka buruk tentang mereka. Setelah disalami satu persatu, kami diajak masuk ke ruang belajar yang juga berfungsi sebagai mushala sekaligus ruang tamu. Sebuah bangunan yang sangat sederhana, kecil tapi menenangkan. Kami duduk dengan formasi persegi panjang, mengikuti bentuk ruangan.
Hari itu, saya ditugaskan mengajar fisika dan matematika. Karena terbatasnya jumlah kakak volunteer, satu kakak ditugaskan untuk mendampingi sedikitnya empat anak dengan mata pelajaran yang berbeda. Saat itu, saya merasa bahwa fasilitas pendidikan yang memadai hanya untuk orang-orang kaya. Mereka yang punya uang mampu mendatangkan guru les untuk membantu memahami pelajaran di sekolah. Tarif guru private yang tidak murah membuat mereka yang kekurangan materi hanya bisa pasrah. Sebelumnya, saya adalah guru private yang mengajar ke rumah-rumah. Saat bertemu adik-adik ini, saya merasa pendidikan sedikit tidak adil pada mereka. Benar bahwa mereka belajar pelajaran yang sama di sekolah. Tapi mereka tidak mampu berdiri di garis yang sama dengan teman-teman mereka yang memiliki kecukupan materi. Mereka dituntut untuk finish di titik yang sama, tapi beda posisi start. Mereka jauh berdiri di belakang, berjuang untuk mengejar ketertinggalan.
Sebelum Salat Dzuhur berjamaah, saya diajak untuk melihat ruang tidur adik-adik. Setelah lulus SD, saya terbiasa hidup jauh dari keluarga dan orang tua. Saya juga tidak berasal dari keluarga kaya, namun orang tua masih mampu memberikan saya fasilitas terbaik untuk pendidikan. Saat di asrama MTsN Padang Panjang, saya terbiasa hidup bersama. Hampir tidak ada privasi selain lemari pakaian yang bisa dikunci. Hampir enam puluh anak tinggal dalam satu ruangan dengan tempat tidur bertingkat. Namun, dibandingkan dengan asrama saya, ruangan adik-adik ini sangat sempit dan serba kekurangan. Setiap hari harus ikhlas berdesakan di tempat makan menikmati tahu-tempe-dan kerupuk yang digilir setiap hari. Jumlah kamar mandi yang tersedia juga sangat sedikit dibandingkan jumlah adik-adik. Tapi mereka bahagia dan bersyukur dengan apa yang mereka punya.
Sebelum pulang, saya berkesempatan untuk berbincang dengan Pak Hari. Cerita Pak Hari menginspirasi dan membuat saya ingin datang lagi. Pak Hari, istri, dan dua anaknya sudah mengabdikan diri untuk panti ini selama bertahun-tahun. Anak keduanya yang duduk di bangku kelas 3 SD lahir dan besar di panti ini. Pak Hari dan istrinya adalah orang tua untuk semua adik-adik. Dalam keterbatasan, Pak Hari tidak pernah mengeluh untuk merawat mereka. Tidak pernah sekalipun terlintas di pikirannya untuk pindah dan meninggalkan adik-adik. Pak Hari menceritakan perjuangannya bersama Pak Jojo mendirikan panti ini. Pak Jojo adalah dosen yang menyediakan waktu dan hartanya untuk membantu adik-adik agar bisa terus sekolah. Dengan bantuan teman-temannya, Pak Jojo berjuang memenuhi kebutuhan hampir 30 anak yang tinggal di panti ini. Tapi Pak Jojo selalu yakin, bahwa akan selalu ada orang baik yang Allah kirimkan untuk membantunya mendidik adik-adik. Istri Pak Hari tidak kalah hebat, setiap hari membimbing adik-adik membersihkan panti dan memasak untuk semua orang.
Saat berbicara dengan Pak Hari, saya melihat daftar piket dan menu harian yang ditempel di dinding. Adik-adik di sini diajarkan untuk mandiri. Saya merasa sangat tidak bersyukur dengan rejeki yang Allah berikan. Setiap hari, adik-adik ini hanya makan tahu atau tempe yang dihidangkan dengan kerupuk. Saya bertanya pada Pak Hari untuk mengkonfirmasi pemahaman saya tentang apa yang ditempel di dinding.
"Maaf Pak, ini menu makan adik-adik?"
"Iya Mba. Baru mampu membelikan tahu, tempe, dan kerupuk. Kadang-kadang ada ikan asin. Ini Pak Hari baru pulang belanja. Untuk kebutuhan makan anak-anak selama sepekan. Biasanya anak-anak makan ayam, daging, atau ikan jika ada yang datang membawa makanan. Atau saat ada yang mengundang mereka ke acara syukuran atau kondangan. Anak-anak senang jika ada yang mengajak makan di luar. Biasanya banyak saat Ramadhan." Pak Hari menunjuk bahan makanan yang disimpan di sudut ruangan.
"Hm, yang masak untuk mereka siapa Pak?"
"Anak-anak, ini jadwal piketnya. Pagi dan sore setelah pulang sekolah, dibantu oleh istri saya. Mereka juga ikut bersih-bersih."
Saya hanya diam. Saat di asrama, saya dan teman-teman tidak diberikan tanggung jawab untuk memasak. Hanya ada jadwal piket untuk menjemput makanan ke dapur umum lalu mengantarkan kembali wadahnya setelah selesai makan. Begitu saja kami sudah mengeluh. Menu makanan berganti setiap waktu makan, berbeda setiap hari. Semua hidangan sudah disesuaikan dengan kebutuhan gizi. Ayam, ikan, daging, telur, sayur, buah dan yang lainnya digilir agar kami tidak bosan. Tapi kami masih mengeluh, menolak makan dengan alasan masakan yang tidak enak. Tidak sedikit makanan dibuang ke tempat sampah. Atau dikembalikan ke dapur dalam jumlah berlimpah. Soal syukur, saya merasa kerdil dibandingkan adik-adik di sini.
Akhirnya, hampir setiap pekan saya datang. Bukan hanya untuk mengajar, tapi juga belajar dari adik-adik agar bisa bersyukur atas hidup yang Allah berikan. Datang ke Mitra Muslim menjadi obat tersendiri dalam mengatasi setiap permasalahan. Sejak rutin mengunjungi mereka setiap akhir pekan, semua urusan saya Allah mudahkan untuk diselesaikan. Mulai dari studi, penelitian, hingga urusan pribadi. Bukan berarti akademik saya jadi sempurna, namun Allah ganti setiap kekurangan angka yang ada di transkrip dengan rejeki lain yang tidak pernah saya bayangkan. Saya yakin bahwa ini terjadi bukan karena saya orang baik, tapi karena saya dido'akan oleh mereka yang jauh lebih baik. Saat itu, status saya hanya sebagai volunteer yang banyak bercerita dibandingkan mengajar fisika. Hingga akhirnya, teman-teman yang lebih senior harus fokus pada studi dan menyerahkan KAMIL Mengajar pada kami yang masih awam.
Maret 2017, bersama dua orang teman dekat saya diamanahkan untuk menjadi nahkoda dalam pelayaran KAMIL Mengajar selanjutnya. Awalnya, saya pesimis harus mulai dari mana. Tidak punya banyak dana dan jumlah volunteer yang masih terbatas. Ditambah dengan urusan akademik yang makin rumit. Ingin rasanya menyerah dan hanya fokus pada kuliah. Tapi setiap kali datang ke Mitra Muslim, saya melihat adik-adik menyimpan banyak harapan, juga teman-teman volunteer yang selalu ada untuk diminta bantuan. Kita bisa saja memberikan harta untuk membantu mereka. Namun, akan jauh berbeda saat kita duduk bersama. Ada nilai dan pesan moral yang kita berikan pada adik-adik, bahwa kita dan mereka bisa sama-sama menjadi lebih baik. Dari sini, kami mulai berpikir agar KAMIL Mengajar bisa memberi lebih. Kami melakukan sosialisasi di dunia nyata hingga maya. Dari kelompok hingga personil. Dari pendekatan organisasi hingga pendekatan pribadi. Tujuannya hanya satu, menggandeng teman-teman agar mau bergerak bersama. Yang ada waktu, datang memberikan ilmu. Yang ada uang, berkontribusi memberikan barang. Yang bijak datang berbagi pengalaman. Yang senang bermain datang untuk menghibur. Yang jauh ikut menebar pesan. Yang terdahulu memberikan do'a dan bimbingan. Semua orang punya kontribusi yang bisa dilakukan. Akhirnya, Allah izinkan banyak hal terwujud. Lebih dari yang kami harapkan. Setiap satu rupiah yang kami usahakan untuk kebutuhan adik-adik Mitra Muslim, Allah kirimkan jauh lebih banyak dari yang kami butuhkan.
Apa yang paling membahagiakan saat Allah mengizinkan kita membantu sesama? Uang yang kita berikan? Ilmu yang kita bagikan? Waktu yang kita luangkan? Atau makanan yang kita bawakan? Ternyata bukan itu. Ada hal yang lebih membahagiakan lagi, saat adik-adik ini juga tergerak untuk membantu orang lain. Kebaikan yang berkembang biak akan tumbuh dan membesar.
Salah satu kesan yang adik-adik sampaikan saat saya berkunjung ke kamar mereka. Saya terharu, tidak menyangka bahwa kunjungan saya bersama teman-teman yang saya anggap sebagai liburan begitu bermakna bagi mereka. Mendengar ucapan mereka, semua lelah menguap. Terbang bersama gelak-tawa teman-teman yang bercanda di ruang depan. Benar kata orang bijak, bahagia itu sederhana. Saat kita mampu mensyukuri semua yang kita miliki, dan tidak khawatir untuk berbagi. Kata adik-adik Mitra Muslim, kakak-kakak KAMIL Mengajar adalah matahari. Tapi menurut kami, adik-adik inilah matahari. Kami hanya bulan yang berjalan dari Ganesha ke Bukit Ligar setiap akhir pekan. Kami hanya memantulkan sinar baik yang adik-adik Mitra Muslim pancarkan. Sinar kecil yang akan menerangi Indonesia di masa depan.
Hari ini, lebih satu tahun saya tidak lagi aktif dalam kegiatan KAMIL Mengajar. Namun, KAMIL Mengajar sudah mendidik saya untuk #JanganTakutBerbagi. KAMIL Mengajar hari ini jauh lebih baik dari sebelumnya, dan saya berharap KAMIL Mengajar bisa menjadi lebih baik lagi. Seperti bulan yang terus berganti fase, KAMIL Mengajar tentu akan timbul dan tenggelam karena keterbatasan manusia yang mengelolanya. Ibarat roda yang terus berputar, ini sudah menjadi hukum alam. Namun, sinar KAMIL Mengajar tidak akan hilang. Hanya saja, ada saatnya purnama bersinar terang, ada saatnya sabit datang menggantikan. Hanya butuh waktu dan sabar untuk setiap pergantian. KAMIL Mengajar hanya satu dari banyak pilihan untuk berbagi. Ada banyak lembaga, komunitas, dan organisasi lain yang bisa menjadi pilihan. Salah satunya adalah Dompet Dhuafa. Kita bisa menyalurkan harta melalui donasi.dompetdhuafa.org atau www.dompetdhuafa.org Jangan takut berbagi karena berbagi bukan untuk mengurangi apa yang kita miliki, tapi membuat berkah dan menjadikannya bertambah. Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa.
*Salam rindu dari saya untuk semua teman-teman yang dulu dan sekarang ada di KAMIL Mengajar. Terimakasih untuk semua kenangan dan kesempatan. Mohon maaf untuk semua kesalahan dan kekurangan. Tanpa kalian, KAMIL Mengajar hanya nama yang tidak ada wujudnya. Semoga Allah membalas semua kebaikan yang teman-teman berikan.
Serpong, Jumat yang cerah di Bulan Kartini
Hari itu, saya ditugaskan mengajar fisika dan matematika. Karena terbatasnya jumlah kakak volunteer, satu kakak ditugaskan untuk mendampingi sedikitnya empat anak dengan mata pelajaran yang berbeda. Saat itu, saya merasa bahwa fasilitas pendidikan yang memadai hanya untuk orang-orang kaya. Mereka yang punya uang mampu mendatangkan guru les untuk membantu memahami pelajaran di sekolah. Tarif guru private yang tidak murah membuat mereka yang kekurangan materi hanya bisa pasrah. Sebelumnya, saya adalah guru private yang mengajar ke rumah-rumah. Saat bertemu adik-adik ini, saya merasa pendidikan sedikit tidak adil pada mereka. Benar bahwa mereka belajar pelajaran yang sama di sekolah. Tapi mereka tidak mampu berdiri di garis yang sama dengan teman-teman mereka yang memiliki kecukupan materi. Mereka dituntut untuk finish di titik yang sama, tapi beda posisi start. Mereka jauh berdiri di belakang, berjuang untuk mengejar ketertinggalan.
Sebelum Salat Dzuhur berjamaah, saya diajak untuk melihat ruang tidur adik-adik. Setelah lulus SD, saya terbiasa hidup jauh dari keluarga dan orang tua. Saya juga tidak berasal dari keluarga kaya, namun orang tua masih mampu memberikan saya fasilitas terbaik untuk pendidikan. Saat di asrama MTsN Padang Panjang, saya terbiasa hidup bersama. Hampir tidak ada privasi selain lemari pakaian yang bisa dikunci. Hampir enam puluh anak tinggal dalam satu ruangan dengan tempat tidur bertingkat. Namun, dibandingkan dengan asrama saya, ruangan adik-adik ini sangat sempit dan serba kekurangan. Setiap hari harus ikhlas berdesakan di tempat makan menikmati tahu-tempe-dan kerupuk yang digilir setiap hari. Jumlah kamar mandi yang tersedia juga sangat sedikit dibandingkan jumlah adik-adik. Tapi mereka bahagia dan bersyukur dengan apa yang mereka punya.
Sebelum pulang, saya berkesempatan untuk berbincang dengan Pak Hari. Cerita Pak Hari menginspirasi dan membuat saya ingin datang lagi. Pak Hari, istri, dan dua anaknya sudah mengabdikan diri untuk panti ini selama bertahun-tahun. Anak keduanya yang duduk di bangku kelas 3 SD lahir dan besar di panti ini. Pak Hari dan istrinya adalah orang tua untuk semua adik-adik. Dalam keterbatasan, Pak Hari tidak pernah mengeluh untuk merawat mereka. Tidak pernah sekalipun terlintas di pikirannya untuk pindah dan meninggalkan adik-adik. Pak Hari menceritakan perjuangannya bersama Pak Jojo mendirikan panti ini. Pak Jojo adalah dosen yang menyediakan waktu dan hartanya untuk membantu adik-adik agar bisa terus sekolah. Dengan bantuan teman-temannya, Pak Jojo berjuang memenuhi kebutuhan hampir 30 anak yang tinggal di panti ini. Tapi Pak Jojo selalu yakin, bahwa akan selalu ada orang baik yang Allah kirimkan untuk membantunya mendidik adik-adik. Istri Pak Hari tidak kalah hebat, setiap hari membimbing adik-adik membersihkan panti dan memasak untuk semua orang.
Saat berbicara dengan Pak Hari, saya melihat daftar piket dan menu harian yang ditempel di dinding. Adik-adik di sini diajarkan untuk mandiri. Saya merasa sangat tidak bersyukur dengan rejeki yang Allah berikan. Setiap hari, adik-adik ini hanya makan tahu atau tempe yang dihidangkan dengan kerupuk. Saya bertanya pada Pak Hari untuk mengkonfirmasi pemahaman saya tentang apa yang ditempel di dinding.
"Maaf Pak, ini menu makan adik-adik?"
"Iya Mba. Baru mampu membelikan tahu, tempe, dan kerupuk. Kadang-kadang ada ikan asin. Ini Pak Hari baru pulang belanja. Untuk kebutuhan makan anak-anak selama sepekan. Biasanya anak-anak makan ayam, daging, atau ikan jika ada yang datang membawa makanan. Atau saat ada yang mengundang mereka ke acara syukuran atau kondangan. Anak-anak senang jika ada yang mengajak makan di luar. Biasanya banyak saat Ramadhan." Pak Hari menunjuk bahan makanan yang disimpan di sudut ruangan.
"Hm, yang masak untuk mereka siapa Pak?"
"Anak-anak, ini jadwal piketnya. Pagi dan sore setelah pulang sekolah, dibantu oleh istri saya. Mereka juga ikut bersih-bersih."
Saya hanya diam. Saat di asrama, saya dan teman-teman tidak diberikan tanggung jawab untuk memasak. Hanya ada jadwal piket untuk menjemput makanan ke dapur umum lalu mengantarkan kembali wadahnya setelah selesai makan. Begitu saja kami sudah mengeluh. Menu makanan berganti setiap waktu makan, berbeda setiap hari. Semua hidangan sudah disesuaikan dengan kebutuhan gizi. Ayam, ikan, daging, telur, sayur, buah dan yang lainnya digilir agar kami tidak bosan. Tapi kami masih mengeluh, menolak makan dengan alasan masakan yang tidak enak. Tidak sedikit makanan dibuang ke tempat sampah. Atau dikembalikan ke dapur dalam jumlah berlimpah. Soal syukur, saya merasa kerdil dibandingkan adik-adik di sini.
Akhirnya, hampir setiap pekan saya datang. Bukan hanya untuk mengajar, tapi juga belajar dari adik-adik agar bisa bersyukur atas hidup yang Allah berikan. Datang ke Mitra Muslim menjadi obat tersendiri dalam mengatasi setiap permasalahan. Sejak rutin mengunjungi mereka setiap akhir pekan, semua urusan saya Allah mudahkan untuk diselesaikan. Mulai dari studi, penelitian, hingga urusan pribadi. Bukan berarti akademik saya jadi sempurna, namun Allah ganti setiap kekurangan angka yang ada di transkrip dengan rejeki lain yang tidak pernah saya bayangkan. Saya yakin bahwa ini terjadi bukan karena saya orang baik, tapi karena saya dido'akan oleh mereka yang jauh lebih baik. Saat itu, status saya hanya sebagai volunteer yang banyak bercerita dibandingkan mengajar fisika. Hingga akhirnya, teman-teman yang lebih senior harus fokus pada studi dan menyerahkan KAMIL Mengajar pada kami yang masih awam.
Maret 2017, bersama dua orang teman dekat saya diamanahkan untuk menjadi nahkoda dalam pelayaran KAMIL Mengajar selanjutnya. Awalnya, saya pesimis harus mulai dari mana. Tidak punya banyak dana dan jumlah volunteer yang masih terbatas. Ditambah dengan urusan akademik yang makin rumit. Ingin rasanya menyerah dan hanya fokus pada kuliah. Tapi setiap kali datang ke Mitra Muslim, saya melihat adik-adik menyimpan banyak harapan, juga teman-teman volunteer yang selalu ada untuk diminta bantuan. Kita bisa saja memberikan harta untuk membantu mereka. Namun, akan jauh berbeda saat kita duduk bersama. Ada nilai dan pesan moral yang kita berikan pada adik-adik, bahwa kita dan mereka bisa sama-sama menjadi lebih baik. Dari sini, kami mulai berpikir agar KAMIL Mengajar bisa memberi lebih. Kami melakukan sosialisasi di dunia nyata hingga maya. Dari kelompok hingga personil. Dari pendekatan organisasi hingga pendekatan pribadi. Tujuannya hanya satu, menggandeng teman-teman agar mau bergerak bersama. Yang ada waktu, datang memberikan ilmu. Yang ada uang, berkontribusi memberikan barang. Yang bijak datang berbagi pengalaman. Yang senang bermain datang untuk menghibur. Yang jauh ikut menebar pesan. Yang terdahulu memberikan do'a dan bimbingan. Semua orang punya kontribusi yang bisa dilakukan. Akhirnya, Allah izinkan banyak hal terwujud. Lebih dari yang kami harapkan. Setiap satu rupiah yang kami usahakan untuk kebutuhan adik-adik Mitra Muslim, Allah kirimkan jauh lebih banyak dari yang kami butuhkan.
Apa yang paling membahagiakan saat Allah mengizinkan kita membantu sesama? Uang yang kita berikan? Ilmu yang kita bagikan? Waktu yang kita luangkan? Atau makanan yang kita bawakan? Ternyata bukan itu. Ada hal yang lebih membahagiakan lagi, saat adik-adik ini juga tergerak untuk membantu orang lain. Kebaikan yang berkembang biak akan tumbuh dan membesar.
"Nanti, jika sudah besar, saya juga ingin seperti kakak-kakak KAMIL Mengajar. Datang ke panti asuhan, membantu adik-adik yang kesulitan dengan pelajaran. Teman-teman kami di sekolah mampu mendatangkan guru les saat mereka kesulitan dalam belajar. Kata Pak Jojo, kami hanya perlu berdo'a agar Allah mengirimkan orang-orang baik yang mau membantu kami. Kakak-kakak adalah orang baik yang diutus Allah."
Salah satu kesan yang adik-adik sampaikan saat saya berkunjung ke kamar mereka. Saya terharu, tidak menyangka bahwa kunjungan saya bersama teman-teman yang saya anggap sebagai liburan begitu bermakna bagi mereka. Mendengar ucapan mereka, semua lelah menguap. Terbang bersama gelak-tawa teman-teman yang bercanda di ruang depan. Benar kata orang bijak, bahagia itu sederhana. Saat kita mampu mensyukuri semua yang kita miliki, dan tidak khawatir untuk berbagi. Kata adik-adik Mitra Muslim, kakak-kakak KAMIL Mengajar adalah matahari. Tapi menurut kami, adik-adik inilah matahari. Kami hanya bulan yang berjalan dari Ganesha ke Bukit Ligar setiap akhir pekan. Kami hanya memantulkan sinar baik yang adik-adik Mitra Muslim pancarkan. Sinar kecil yang akan menerangi Indonesia di masa depan.
Hari ini, lebih satu tahun saya tidak lagi aktif dalam kegiatan KAMIL Mengajar. Namun, KAMIL Mengajar sudah mendidik saya untuk #JanganTakutBerbagi. KAMIL Mengajar hari ini jauh lebih baik dari sebelumnya, dan saya berharap KAMIL Mengajar bisa menjadi lebih baik lagi. Seperti bulan yang terus berganti fase, KAMIL Mengajar tentu akan timbul dan tenggelam karena keterbatasan manusia yang mengelolanya. Ibarat roda yang terus berputar, ini sudah menjadi hukum alam. Namun, sinar KAMIL Mengajar tidak akan hilang. Hanya saja, ada saatnya purnama bersinar terang, ada saatnya sabit datang menggantikan. Hanya butuh waktu dan sabar untuk setiap pergantian. KAMIL Mengajar hanya satu dari banyak pilihan untuk berbagi. Ada banyak lembaga, komunitas, dan organisasi lain yang bisa menjadi pilihan. Salah satunya adalah Dompet Dhuafa. Kita bisa menyalurkan harta melalui donasi.dompetdhuafa.org atau www.dompetdhuafa.org Jangan takut berbagi karena berbagi bukan untuk mengurangi apa yang kita miliki, tapi membuat berkah dan menjadikannya bertambah. Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa.
*Salam rindu dari saya untuk semua teman-teman yang dulu dan sekarang ada di KAMIL Mengajar. Terimakasih untuk semua kenangan dan kesempatan. Mohon maaf untuk semua kesalahan dan kekurangan. Tanpa kalian, KAMIL Mengajar hanya nama yang tidak ada wujudnya. Semoga Allah membalas semua kebaikan yang teman-teman berikan.
Serpong, Jumat yang cerah di Bulan Kartini