Sabtu, 06 Juni 2020

Liwet, Hidangan Sunda Penggugah Selera


Nasi liwet, sambal tahu teri, bandeng goreng, dan tumis kangkung saori...

The most delicious rice I have ever eaten is liwet, nasi khas Sunda yang dibumbui dengan aneka rempah. Mungkin terkesan berlebihan, but it is absolutely true. Pertama kali menyantap liwet di Rumah Stroberi Lembang sekitar tahun 2017-an, saya langsung terkesima, how flavorful it is. Apalagi jika dinikmati dalam suasana kebersamaan dan diiringi alunan musik Sunda serta panaroma alam yang memanjakan mata. Alhamdulillah, terlalu nikmat dan pengalaman yang sulit dilupakan. Detik itu juga saya merasa beruntung karena sudah memilih Bandung sebagai kota tempat studi lanjut. Jika banyak orang mengatakan pesona Bandung terletak pada mojang dan jajaka-nya yang kasep pisan, saya kurang setuju. Menurut saya, bagian paling menarik dari Bandung adalah kuliner dan panaroma yang memanjakan setiap pengunjung yang datang.

Setelah itu, saya sering menyantap liwet, terutama saat acara di Panti Asuhan Mitra Muslim Bandung bersama teman-teman. Setiap liwet memiliki cita rasa tersendiri, tergantung tangan dan ramuan yang meracik. Saya sendiri sudah memasak liwet berulang kali, dengan berkiblat pada berbagai referensi. Namun masih belum ada yang nyantol di hati. Liwet dari dapur Rumah Stroberi masih menjadi jawara. Akhirnya, saya mulai melupakan rasa liwet yang pas dan berdamai dengan setiap hidangan liwet. Bumi terus berputar, begitu juga dengan waktu yang terus melaju hingga saya dipaksa meninggalkan Bandung, bergeser sedikit ke arah barat Indonesia. Serpong, kota kecil di pinggir Jakarta namun secara administrasi masuk kedaulatan Provinsi Banten, adalah kota domisili saya yang baru. Saya mulai terbiasa dengan cuacanya yang panas dan kulinernya yang biasa saja. Sesuatu yang sangat berbeda dengan Bandung. Namun hidup harus beradaptasi, bukan?

Hingga suatu hari, saya menghadiri acara perpisahan teman kantor. Dalam hidangan makan malam, saya kembali mengecap liwet yang begitu lezat. Lidah saya menari, saliva saya bergejolak. Liwet yang dihidangkan membuka kembali memori saya pada Rumah Stroberi. Ternyata hidangan lezat ini diracik oleh teman saya, pemudi asli Garut. Saya mengadopsi ilmu liwet-nya dan memodifikasi sedikit agar lebih cocok dengan selera saya. Sejak hari itu, saya kembali rajin memasak liwet, terutama saat lagi malas masak atau kurang berselera makan. Saya bisa menikmati liwet tanpa tambahan lauk apapun. Berikut saya tulis resep liwet yang pas di lidah saya.

Bahan-bahan: beras (pilih yang tidak terlalu pulen, tapi juga tidak terlalu cerai), bawang merah, bawang putih, tomat, cabe rawit besar (cengek), daun salam, batang putih sereh, ikan teri jengki, garam, kaldu bubuk (opsional), dan pete (opsional).

Cara memasak:
  1. Beras dicuci bersih, lalu diisi air seperti hendak memasak nasi biasa. Beras jangan direndam terlalu lama karena liwet akan lembek.
  2. Ikan teri jengki dibersihkan, lalu digoreng hingga harum. Pilih ikan teri jengki yang tidak mudah hancur jika terendam air. Lebih enak ikan teri jengki yang ada bintik hitamnya karena berukuran besar, keras, dan tidak asin.
  3. Bawang putih dan tomat diiris tipis, sedangkan bawang merah dipotong kotak. Cengek dibiarkan utuh, kecuali jika suka pedas. Semua ini dicampurkan ke dalam beras. Tambahkan juga daun salam dan batang sereh yang sudah digeprek. Masukkan juga ikan teri yang sudah digoreng. Minyak sisa bisa dimasukkan atau tidak. Minyak membuat nasi menjadi tidak lengket satu sama lain. Jadi, tergantung selera. Saya pribadi tidak menyukai nasi liwet yang berminyak.
  4. Terakhir, tambahkan garam dan kaldu bubuk secukupnya, lalu aduk rata agar bumbu tercampur dengan beras. Jika suka, bisa ditambahkan beberapa biji pete agar aroma liwet lebih wangi.
  5. Masak dengan rice cooker atau magicom. Akan lebih nikmat jika dimasak dalam periuk belanga di atas bara api atau kayu bakar, aroma liwet akan lebih wangi dan tekstur nasinya juga lebih gurih.
Note: saya sudah senang memasak berbagai hidangan sejak masih menjadi siswa sekolah dasar,hehe. Believe or not, saya pernah punya cita-cita untuk sekolah masak (tata boga). Namun batal, karena selain biaya pendidikannya mahal, saya juga excited untuk belajar saints. Maka jadilah saya manusia yang sibuk di laboratorium sambil memikirkan bumbu dapur, hehe. I do love cooking, because for me, cooking is a healing process. Cooking throws my stress away and makes me forgettable my problems. One of my future dreams is having a cozy kitchen. Pernah berpikir buat punya cafe or pastry shop sendiri ga? Of course yes, this is one of my hopes. Tapi sekarang masih harus fokus sama riset sains dulu, hehe...   

Tidak ada komentar: