Rabu, 04 Januari 2017

Lumbung Kebijaksanaan

Alm. kakek waktu muda (Datok Ayah)
Aku lahir di pinggir Provinsi Jambi, Duson Tabon. Sebagian besar penduduknya adalah penyadap karet, termasuk ayah dan ibuku. Proses kelahiranku ditangani oleh dukun beranak yang tidak lain adalah nenekku. Minimnya fasilitas kesehatan, sulitnya akses transportasi, dan uang yang terbatas membuat orang tuaku hanya mampu menyambut hadirku di kamar gelap milik seorang sahabat tanpa bantuan tenaga medis. Setelah pindah ke desa ibu, aku tumbuh dalam didikan ibu dan kakek. Jauh sebelum usia sekolah, ibu mengajarku menghafal surah-surah pendek, menulis, berhitung, dan membaca. Di zaman itu, ini adalah hal aneh di mata orang lain karena hampir semua anak di desaku baru belajar saat duduk di bangku sekolah dasar. Setiap magrib kakekku datang, mengajar salat dan mengaji. Setiap magrib juga aku menangis, berontak tidak ingin belajar bersama kakek. Ibu akan membujukku dengan ikan atau ayam goreng. Tangisku berhenti, semangat belajarku kembali lagi karena dua makanan ini sangat aku sukai, apalagi jika disantap tanpa nasi.
Nenek (Gdeh) : pemilik dua tangan yang pertama menyambut hadirku di dunia
Dua tahun sebelum masuk SD, ayah dan ibu memboyongku tinggal di ladang. Di gubuk sederhana yang jauh dari keramaian. Hari demi hari dilewati bersama ibu. Membantu ibu menanam padi atau sayur sambil berhitung. Saat malam, ibu akan membacakan cerita dari majalah Bobo bekas yang dibeli di pasar tumpah desa sebelah. Bila purnama datang, ibu bercerita tentang mitos mengapa sebagian bulan berwarna gelap. Sesekali, ayah mengajakku mancing di rawa-rawa yang ada di sekitar ladang. Atau masuk hutan saat musim jengkol datang. Tugasku adalah membantu ayah memasukkan buah jengkol ke dalam karung untuk dijual. Tidak jarang aku terjatuh karena jalanan yang licin disiram hujan. Jika bersama ayah, aku dilarang menangis. Ayah akan sangat marah jika aku menangis karena terjatuh atau sebab lain.
Rumah kakek, tempat tinggal masa kecil (setelah direnovasi), gambar diambil saat lebaran 2016
Karena tinggal jauh dari pemukiman, usiaku lebih enam tahun saat masuk sekolah dasar. Saat itu aku memiliki adik yang masih bayi sehingga ibu tidak bisa mengantar dan menjemputku ke sekolah. Ibu mendidikku berani untuk mengejar mimpi. Perjalanan ke sekolah tidak mudah untuk anak seusiaku. Sendirian menyusuri jalan setapak yang dikelilingi hutan dan semak belukar. Jika musim hujan, suasana makin mencekam karena tidak ada penduduk yang datang untuk bekerja di ladang. Sepanjang jalan aku melafalkan do’a dan surah-surah pendek yang dihafal. Gemuruh air yang mengalir membuatku semakin kecut. Apalagi jika jarak air dan jembatan kayu yang dilewati hanya tersisa beberapa senti. Pohon besar ditengah rawa semakin menakutkan. Aku tidak berani menoleh ke samping atau belakang, khawatir tiba-tiba ada makhluk yang mengikutiku diam-diam. Setakut apapun diriku, aku tidak pernah alpa datang ke sekolah. Ah, diriku yang dulu memang lebih rajin.
Bukan jalan yang dulu sering dilewati, hanya gambaran bagaimana semak di desaku
Bagian paling menyenangkan adalah saat musim buah datang. Setelah pulang sekolah, aku asyik mengumpulkan buah duku manis yang jatuh dari pohon. Kesenangan ini membuatku terlambat sampai di rumah. Setiap kali dimarahi ibu aku hanya cengengesan. Jika bertemu suku anak dalam, aku akan menghindar jauh-jauh. Apalagi jika mereka mendatangi gubuk kami, aku hanya mengintip lewat celah papan saat ayah berbincang dengan mereka. Banyak mitos tentang mereka yang beredar. Aku tidak mau menjadi korban.

Rumah ini juga sudah tidak ada
Hasil didikan ibu, aku menjadi siswa dengan kecerdasan di atas teman sebaya. Saat kelas 3 SD, kami pindah ke desa. Ladang berubah menjadi kebun karet. Setelah lulus SD, ayah dan ibu meyekolahkanku di kota. Jarak yang tidak dekat dari rumah, delapan jam perjalanan jika tidak hujan. Transportasi untuk pulang-pergi tidak gampang. Aku masuk SMP favorit berasrama. Setelah lulus dari SMA terbaik di Kota Padangpanjang, aku kuliah di Universitas Andalas. Tekad orang tuaku yang kokoh tak tertandingi mengantarku menjadi mahasiswa Pascasarjana Magister Fisika ITB. Pencapaianku hari ini adalah mahakarya ayah dan ibuku. Mereka menitipkan banyak filosofi hidup dalam setiap perjalanan masa kecilku. Belajar dengan gigih, semangat mengejar mimpi, serta jangan cengeng menghadapi setiap kesulitan adalah semangat yang mereka tanamkan sejak aku kecil. Karena setiap kesulitan yang dilalui akan mendatangkan kesempatan baru, tempat baru, dan pengalaman baru. Didikan keras ayah, kasih sayang ibu, dan kebijaksanaan almarhum kakek membawaku pada lingkungan yang mengajarkan banyak hal baru.  
*Banyak orang salah kaprah tentang aku dan adik-adik yang sekolah dengan biaya tidak murah. Mereka pikir orang tua kami kami kaya-rata, punya banyak harta guna menyekolahkan anak-anaknya. Mereka salah besar. Aku dan dua adikku sekolah ke kota sejak tamat SD merupakan pengorbanan tiada berhingga dari kedua orang tua. Banyak kesulitan dan kesedihan yang kami sekeluarga alami selama perjuangan ini, hanya saja kami tidak banyak bercerita. Banyak orang mengira aku bukan anak desa. Kata mereka pribadi serta gaya bicaraku sama sekali tidak 'kuno' dan sangat terbuka. Hm, itu karena ibuku selalu berpesan : jangan malu, apalagi minder untuk berteman dengan siapapun hanya karena kau tak punya apa-apa. Mereka semua adalah teman terbaik yang bersedia membantumu apa saja. Sebuah pesan yang sangat berkesan untukku hingga hari ini.
**Tulisan ini terinspirasi saat aku mendengar sebuah kabar : seorang mahasiswa putus asa, mengurung diri, tidak mau bertemu siapa saja karena merasa dirinya miskin tak berpunya, sedangkan teman-temannya kaya-raya sehingga memutuskan untuk berhenti kuliah dan meratapi nasibnya dalam kamar gelap yang makin pekat oleh kesedihan. Wahai adikku yang aku tidak tahu nama apalagi wajahmu, ketahuilah bahwa sikapmu tidak mengubah apa-apa. Rasa mindermu hanya mengubah mendung di pelupuk mata ibumu menjadi hujan. Pengorbanan ibu bapakmu terlalu berharga untuk kau rutuki. Hatimu terlalu dangkal jika menilai teman sedemikian adanya. Wahai adikku yang hanya bisa aku do'akan sepenuh jiwa, kamu bukan satu-satunya orang di luar sana yang hidupnya menderita. Mereka bertebaran dimana-mana, hanya saja mereka tidak pernah cerita apalagi sampai berputus asa. Benar adanya kita tidak bisa memilih dari rahim perempuan mana kita akan lahir, dalam pangkuan siapa kita akan tumbuh, atau tangan milik siapa yang memeluk kita saat kecil. Siapapun mereka yang diamanahkan Tuhan untuk membesarkan kita adalah orang tua terbaik yang pernah kita punya. Wahai adikku yang mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini, ada banyak jiwa yang memikirkanmu saat ini. Memikirkan bagaimana kau bisa kembali ceria.

Tidak ada komentar: