Minggu, 18 Desember 2016

Jogja, Kota Romantis Nan Eksotis

Candi Brobudur
Jogja, aku rindu...
Pada Tuhan yang mengijinkanku mengunjungimu awal tahun lalu (Januari 2016), Alhamdulillah, segala puji untuk-Mu...
Sejak lama aku membayangkan Jogja lewat layar kaca, cerita roman yang aku baca, hingga laman majalah pariwisata. Keraton, Taman Sari, Malioboro, kuliner, dan kultur adalah kekuatan magis yang membuat jalanan Jogja ramai kapan saja. Seolah-olah Jogja adalah kota yang tidak pernah tidur. Setiap sudutnya seakan memanggil para pelancong yang datang untuk terus berkelana. Jogja, panas membuatnya eksotis, mendatangkan candu bagi melankolis, lantas merasa kota ini romantis.
 
Aku-Ega-Emi
Akhirnya kesempatan itu datang. Dengan persiapan serba mendesak, bersama dua orang teman aku berangkat menuju Jogja. Kebetulan yang sangat beruntung, salah seorang temanku adalah Jawa yang rumahnya tetanggaan dengan Candi Brobudur. Mita, semua tiket perjalanan dan akomodasi difasilitasinya. Mulai dari tiket kereta, penginapan, hingga transportasi ditambah bonus ditemani kemana saja.
 
Lebay, sedih meninggalkan Jogja
Walau tidak memperoleh tiket kereta api langsung Bandung-Jogja, kami memutuskan untuk tetap berangkat dengan transit terlebih dahulu di Stasiun Kutoarjo, sekitar satu jam perjalanan sebelum tiba di Jogja. Kiara condong pukul delapan malam, aku takjub saat kereta mulai beranjak meninggalkan Bandung. Pertama kali naik kereta penumpang, sebelumnya hanya pernah naik kereta wisata. Kereta kelas ekonomi yang kami naiki terbilang penuh. Malam itu aku merasa dapat berkah dari langit, tiga kursi di hadapan kami kosong dari Kiara Condong hingga Kutoarjo.
 
Bandung, pukul delapan malam

Malam beranjak larut, gerbong kereta mulai sepi oleh obrolan penumpang. Satu persatu mereka lelap dalam riuh sambungan antar gerbong dengan sountrack tembang jawa. Sedangkan aku hanya melihat sekitar, posisi duduk membuatku tidak nyaman untuk sekedar memejamkan mata. Perjalanan menuju Jogja masih lama. Udara yang semakin dingin membuatku bergelung di sudut kursi. Berharap masinis terus menaikkan laju kereta. Aku tidak benar-benar tahu apakah kereta geraknya bisa dipercepat?   
 
Stasiun Kutoarjo sebelum subuh
Beberapa menit sebelum fajar menyingsing di ufuk timur, kereta berhenti. Samar-samar bisa aku lihat tulisan Stasiun Kutoarjo. Sepi, hanya deretan warung dengan penjaga yang terangguk-angguk di balik meja. Tidak sabar aku keluar gerbong, menghirup embun pagi Kutoarjo. Logat medok khas Jawa membuatku tidak mengerti apa-apa. Setelah subuh, kami masih memiliki waktu menikmati sepotong roti sebelum berangkat dengan kereta selanjutnya. Aura panas dan aroma khas dari secangkir teh mencumbuku hingga lupa jika beberapa saat lalu aku masih kedinginan.
 
Mata panda setelah tidak tidur semalaman
Matahari mulai menunjukkan pesonanya. Semilir angin lewat di antara banyak penumpang yang duduk menunggu kereta. Terdengar masinis membunyikan alarm tanda kereta akan segera berangkat. Riuh para penumpang menuju gerbong dengan bawaan masing-masing. Aku adalah salah satunya. Ternyata kereta ini berbeda dengan kereta tadi malam. Kursi tempat duduk berjejer sepanjang sisi kereta, menyisakan banyak ruang kosong untuk penumpang yang berdiri. Kata Mita, ini namanya commuter train. Beruntung kami memperoleh tempat duduk di dekat jendela. Aku tidak ingin melewatkan satu jam berikutnya dengan tertidur. Hamparan sawah yang menghijau, para petani yang menggarap sawah, hingga anak-anak yang berlari menuju sekolah terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja.
 
Penumpang menaiki kereta
Jogja, aku datang. Bergegas kami turun dari kereta dan meninggalkan stasiun yang makin ramai. Sebelum melanjutkan perjalanan dengan bis kota menuju Magelang, kami mengisi perut terlebih dahulu di warung pinggir jalan. Soto padang menjadi pilihan karena lidahku belum berani mencicipi gurihnya gula merah dalam kuliner Jogja. Setelah dua kali berganti Damri, kami sampai di terminal bis keberangkatan menuju Magelang. Bis penuh, dominan penumpangnya adalah turis, domestik dan mancanegara. Pesona Brobudur membuat mereka rela pagi-pagi sudah duduk berdesakan dalam panasnya bis kota. Sekitar satu jam perjalanan menuju Magelang.
 
Magelang sedikit berkabut
Jalanan mulus dan lancar membuat kami datang tepat waktu. Pilihan berikutnya adalah naik ojek. Panas mulai terasa. Tujuan kami adalah rumah Mita. Supir ojek lincah membawa motornya memasuki kawasan desa. Deretan rumah penduduk diselingi banyak sawah dan tanaman hijau menggambarkan betapa suburnya desa ini. Desa Menayu, Muntilan, Magelang, desa subur dengan aliran sungai dari puncak Merapi. Tiga hari di sini, aku sempat menyusuri pematang sawah di bawah siluet pagi. Hijau menghampar dimana-mana. Cahaya membias pada aliran kali yang dipenuhi oleh ikan kecil. Menggiurkan, apalagi jika diolah menjadi peyek. Nun jauh di sana sayup terlihat Merapi angkuh dalam diamnya.
 
Pak petani mulai bekerja
Beberapa jam setelah kedatangan, kami langsung berkunjung ke Candi Brobudur. Jaraknya tidak jauh dari rumah Mita, hanya 15 menit perjalanan dengan motor. Panas terik membakar kulit tak menyurutkan langkah untuk menjamah Brobudur hingga puncak paling atas. Melebur bersama para pengunjung lain. Berdecak kagum memandang pahatan arca di sekeliling dinding candi. Di beberapa sudutnya, terlihat muda-mudi bahagia memadu asmara. Sebagai single, aku merasa beruntung tidak datang seorang diri.
 
Fokus pada dua sejoli yang memadu cinta
Kala itu Muntilan sedikit berkabut yang membatasi jarak pandang hingga pemukiman yang menghampar. Matahari jauh bergeser ke arah barat, beberapa saat lagi akan tenggelam di horizon. Kami mulai menjauh, selamat tinggal Brobudur. Lain kali aku akan menyapamu lebih lama. Barangkali tidak bersama mereka lagi. Sebelum pulang, kami singgah sebentar di Kamera House. Sayang sekali, tempatnya sudah tutup. Akibatnya, kami hanya berfoto di bagian luar saja.
 
Kamera House
Saat liburan, putaran waktu menjadi lebih cepat. Malam berlalu tanpa sempat terlihat gelap. Esoknya, kami menikmati stroberi segar yang dipetik sendiri. Pada dasarnya, aku tidak begitu suka stroberi. Tapi aku sampai ketagihan mencicipi manisnya stroberi di sini. Segar, sangat berbeda dengan stroberi yang aku beli di pasar. Setelah puas memetik stroberi di dataran tinggi Magelang, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Jogja. Panas kian terasa saat mendekati Jogja. Apalagi ditambah jelaga yang keluar dari knalpot truk-truk besar di sepanjang jalan lintas Magelang-Jogja.
 
diserang virus happy di tengah kebun stroberi
Jogja makin menggairahkan karena panas. Setelah salat dzuhur di masjid kampus UGM nan megah, kami makan siang di warung SS. Jogja memang tidak pernah sepi hingga membuat kami harus mengantri untuk bisa makan siang hari ini. Enak dan murah, membuatku makan bertambah-tambah.
 
Hasil panen yang tidak pernah terkumpul
Selanjutnya kami menuju Museum 3D De Mata dan De Arca. Berpose bersama tokoh idola hingga berekspresi dengan lukisan tiga dimensi. Museum ini cukup luas dengan patung dan lukisan yang sangat banyak. Butuh waktu cukup lama untuk bisa mengabadikan semuanya. Akhirnya kami terpaksa harus pulang karena hari telah lama beranjak malam. Mita adalah pengendara tangguh penuh konsentrasi. Dia memacu laju motor dengan kecepatan tinggi, menembus malam untuk kembali ke Mgelang. Perjalanan di Jogja kembali kami lanjutkan esok hari.   
 
Saat kau bosan mendengarnya bercerita
Jogja tidak lengkap jika belum berkunjung ke Keraton Jogjakarta. Aku pikir pengunjung bisa bertemu sultan atau pangeran di keraton sesukanya. Ternyata tidak begitu. Tidak sembarang orang bisa menemui keluarga keraton. Aku pikir keraton juga memiliki abdi luar. Ternyata pemahamanku salah, abdi dalem yang dimaksud bukan abdi yang berada di dalam keraton. Tetapi gelar buat mereka yang bekerja dan mengabdi untuk keraton.
 
Keraton Jogjakarta
Panas tidak membuat kami berhenti sampai di sini. Perjalanan kami lanjutkan menuju Taman Sari, tempat mandi putri raja pada jaman dahulu kala. Kreatifitas penduduk yang tinggal di sekitar Taman Sari terlihat apik dengan dinding-dinding rumah mereka yang digambar karakter-karakter unik. Menarik, Taman Sari terlihat bagai dua bagian kehidupan yang bersanding dalam damai, peninggalan sejarah dan modernisasi. Tidak satupun dari mereka ingin melenyapkan yang lain. Hanya menempati peran masing-masing.
 
Asrinya halaman depan Taman Sari
Lelah dari Taman Sari, kami menikmati gurihnya bakso Idola. Bakso dengan kuah kaldu yang menggugah selera. Hm, panas tidak mengurangi minat untuk menyantap bakso. Destinasi berikutnya adalah Malioboro, berburu bakpia pathok yang menggugah selera lengkap dengan aksesoris khas Jogja. Langit Jogja mulai menguning, deretan toko yang mulai tutup tidak membuat surut para pengunjung untuk larut dalam euforia belanja. Akhirnya kami pulang untuk salat maghrib sebelum berangkat ke Taman Lampion. Jogja di malam hari lebih menggoda.
 
Wajah-wajah lapar
Kilau lampu tak membuat kota ini berubah menjadi glamour dan tidak ramah. Syahdu terasa kental dalam bisingnya jalanan oleh gelak tawa pengunjung yang bahagia. Setelah mengelilingi Taman Lampion, kami beranjak ke Tugu Jogja. Menatap kendaraan hilir-mudik tiada henti. Jogja, kapan kau sepi? Malam makin larut hingga kami memutuskan untuk pulang. Esok, kami akan naik kereta pagi menuju Bandung. Sebelum kereta berangkat, kami menyempatkan diri menikmati gurih aren dalam hidangan gudek. Manis, namun tidak membuat jenuh seperti yang biasa aku rasakan kala mencicipi gudeg di kota lain.
 
Sahabat...
Pulang, tiga hari terlalu singkat. Aku merasa belum puas. Lain kali, aku akan kembali menjumpai dirimu lagi.....
 
Saat pulang menjadi sebuah keharusan


Tidak ada komentar: