Candi Brobudur |
Jogja,
aku rindu...
Pada
Tuhan yang mengijinkanku mengunjungimu awal tahun lalu (Januari 2016), Alhamdulillah,
segala puji untuk-Mu...
Sejak
lama aku membayangkan Jogja lewat layar kaca, cerita roman yang aku baca, hingga
laman majalah pariwisata. Keraton, Taman Sari, Malioboro, kuliner, dan kultur
adalah kekuatan magis yang membuat jalanan Jogja ramai kapan saja. Seolah-olah
Jogja adalah kota yang tidak pernah tidur. Setiap sudutnya seakan memanggil
para pelancong yang datang untuk terus berkelana. Jogja, panas membuatnya
eksotis, mendatangkan candu bagi melankolis, lantas merasa kota ini romantis.
Akhirnya
kesempatan itu datang. Dengan persiapan serba mendesak, bersama dua orang teman
aku berangkat menuju Jogja. Kebetulan yang sangat beruntung, salah seorang temanku adalah Jawa yang rumahnya tetanggaan dengan Candi Brobudur. Mita, semua
tiket perjalanan dan akomodasi difasilitasinya. Mulai dari tiket kereta,
penginapan, hingga transportasi ditambah bonus ditemani kemana saja.
Walau
tidak memperoleh tiket kereta api langsung Bandung-Jogja, kami memutuskan untuk
tetap berangkat dengan transit terlebih dahulu di Stasiun Kutoarjo, sekitar
satu jam perjalanan sebelum tiba di Jogja. Kiara condong pukul delapan
malam, aku takjub saat kereta mulai beranjak meninggalkan Bandung. Pertama kali
naik kereta penumpang, sebelumnya hanya pernah naik kereta wisata. Kereta kelas
ekonomi yang kami naiki terbilang penuh. Malam itu aku merasa dapat berkah dari
langit, tiga kursi di hadapan kami kosong dari Kiara Condong hingga Kutoarjo.
Malam
beranjak larut, gerbong kereta mulai sepi oleh obrolan penumpang. Satu persatu
mereka lelap dalam riuh sambungan antar gerbong dengan sountrack tembang jawa. Sedangkan aku hanya melihat sekitar, posisi
duduk membuatku tidak nyaman untuk sekedar memejamkan mata. Perjalanan menuju
Jogja masih lama. Udara yang semakin dingin membuatku bergelung di sudut kursi.
Berharap masinis terus menaikkan laju kereta. Aku tidak benar-benar tahu apakah
kereta geraknya bisa dipercepat?
Beberapa
menit sebelum fajar menyingsing di ufuk timur, kereta berhenti. Samar-samar
bisa aku lihat tulisan Stasiun Kutoarjo. Sepi, hanya deretan warung dengan
penjaga yang terangguk-angguk di balik meja. Tidak sabar aku keluar gerbong,
menghirup embun pagi Kutoarjo. Logat medok khas Jawa membuatku tidak mengerti
apa-apa. Setelah subuh, kami masih memiliki waktu menikmati sepotong roti sebelum
berangkat dengan kereta selanjutnya. Aura panas dan aroma khas dari secangkir
teh mencumbuku hingga lupa jika beberapa saat lalu aku masih kedinginan.
Matahari
mulai menunjukkan pesonanya. Semilir angin lewat di antara banyak penumpang
yang duduk menunggu kereta. Terdengar masinis membunyikan alarm tanda kereta
akan segera berangkat. Riuh para penumpang menuju gerbong dengan bawaan
masing-masing. Aku adalah salah satunya. Ternyata kereta ini berbeda dengan
kereta tadi malam. Kursi tempat duduk berjejer sepanjang sisi kereta,
menyisakan banyak ruang kosong untuk penumpang yang berdiri. Kata Mita, ini
namanya commuter train. Beruntung
kami memperoleh tempat duduk di dekat jendela. Aku tidak ingin melewatkan satu
jam berikutnya dengan tertidur. Hamparan sawah yang menghijau, para petani yang
menggarap sawah, hingga anak-anak yang berlari menuju sekolah terlalu indah
untuk dilewatkan begitu saja.
Jogja,
aku datang. Bergegas kami turun dari kereta dan meninggalkan stasiun yang makin
ramai. Sebelum melanjutkan perjalanan dengan bis kota menuju Magelang, kami mengisi
perut terlebih dahulu di warung pinggir jalan. Soto padang menjadi pilihan
karena lidahku belum berani mencicipi gurihnya gula merah dalam kuliner Jogja. Setelah
dua kali berganti Damri, kami sampai di terminal bis keberangkatan menuju
Magelang. Bis penuh, dominan penumpangnya adalah turis, domestik dan
mancanegara. Pesona Brobudur membuat mereka rela pagi-pagi sudah duduk berdesakan
dalam panasnya bis kota. Sekitar satu jam perjalanan menuju Magelang.
Jalanan
mulus dan lancar membuat kami datang tepat waktu. Pilihan berikutnya adalah
naik ojek. Panas mulai terasa. Tujuan kami adalah rumah Mita. Supir ojek lincah
membawa motornya memasuki kawasan desa. Deretan rumah penduduk diselingi banyak
sawah dan tanaman hijau menggambarkan betapa suburnya desa ini. Desa Menayu,
Muntilan, Magelang, desa subur dengan aliran sungai dari puncak Merapi. Tiga
hari di sini, aku sempat menyusuri pematang sawah di bawah siluet pagi. Hijau
menghampar dimana-mana. Cahaya membias pada aliran kali yang dipenuhi oleh ikan
kecil. Menggiurkan, apalagi jika diolah menjadi peyek. Nun jauh di sana sayup
terlihat Merapi angkuh dalam diamnya.
Beberapa
jam setelah kedatangan, kami langsung berkunjung ke Candi Brobudur. Jaraknya
tidak jauh dari rumah Mita, hanya 15 menit perjalanan dengan motor. Panas terik
membakar kulit tak menyurutkan langkah untuk menjamah Brobudur hingga puncak
paling atas. Melebur bersama para pengunjung lain. Berdecak kagum memandang
pahatan arca di sekeliling dinding candi. Di beberapa sudutnya, terlihat
muda-mudi bahagia memadu asmara. Sebagai single,
aku merasa beruntung tidak datang seorang diri.
Kala
itu Muntilan sedikit berkabut yang membatasi jarak pandang hingga pemukiman
yang menghampar. Matahari jauh bergeser ke arah barat, beberapa saat lagi akan
tenggelam di horizon. Kami mulai menjauh, selamat tinggal Brobudur. Lain kali
aku akan menyapamu lebih lama. Barangkali tidak bersama mereka lagi. Sebelum
pulang, kami singgah sebentar di Kamera House. Sayang sekali, tempatnya sudah
tutup. Akibatnya, kami hanya berfoto di bagian luar saja.
Saat
liburan, putaran waktu menjadi lebih cepat. Malam berlalu tanpa sempat terlihat
gelap. Esoknya, kami menikmati stroberi segar yang dipetik sendiri. Pada
dasarnya, aku tidak begitu suka stroberi. Tapi aku sampai ketagihan mencicipi
manisnya stroberi di sini. Segar, sangat berbeda dengan stroberi yang aku beli
di pasar. Setelah puas memetik stroberi di dataran tinggi Magelang, kami
melanjutkan perjalanan menuju Kota Jogja. Panas kian terasa saat mendekati
Jogja. Apalagi ditambah jelaga yang keluar dari knalpot truk-truk besar
di sepanjang jalan lintas Magelang-Jogja.
Jogja makin menggairahkan karena panas. Setelah salat dzuhur di masjid kampus UGM
nan megah, kami makan siang di warung SS. Jogja memang tidak pernah sepi hingga
membuat kami harus mengantri untuk bisa makan siang hari ini. Enak dan murah,
membuatku makan bertambah-tambah.
Selanjutnya
kami menuju Museum 3D De Mata dan De Arca. Berpose bersama tokoh idola hingga
berekspresi dengan lukisan tiga dimensi. Museum ini cukup luas dengan patung
dan lukisan yang sangat banyak. Butuh waktu cukup lama untuk bisa mengabadikan
semuanya. Akhirnya kami terpaksa harus pulang karena hari telah lama beranjak
malam. Mita adalah pengendara tangguh penuh konsentrasi. Dia memacu
laju motor dengan kecepatan tinggi, menembus malam untuk kembali ke Mgelang. Perjalanan
di Jogja kembali kami lanjutkan esok hari.
Jogja
tidak lengkap jika belum berkunjung ke Keraton Jogjakarta. Aku pikir pengunjung
bisa bertemu sultan atau pangeran di keraton sesukanya. Ternyata tidak begitu.
Tidak sembarang orang bisa menemui keluarga keraton. Aku pikir keraton juga
memiliki abdi luar. Ternyata pemahamanku salah, abdi dalem yang dimaksud bukan
abdi yang berada di dalam keraton. Tetapi gelar buat mereka yang bekerja dan
mengabdi untuk keraton.
Panas
tidak membuat kami berhenti sampai di sini. Perjalanan kami lanjutkan menuju
Taman Sari, tempat mandi putri raja pada jaman dahulu kala. Kreatifitas
penduduk yang tinggal di sekitar Taman Sari terlihat apik dengan
dinding-dinding rumah mereka yang digambar karakter-karakter unik. Menarik,
Taman Sari terlihat bagai dua bagian kehidupan yang bersanding dalam damai,
peninggalan sejarah dan modernisasi. Tidak satupun dari mereka ingin melenyapkan yang lain. Hanya menempati peran masing-masing.
Lelah
dari Taman Sari, kami menikmati gurihnya bakso Idola. Bakso dengan kuah kaldu yang
menggugah selera. Hm, panas tidak mengurangi minat untuk menyantap bakso. Destinasi
berikutnya adalah Malioboro, berburu bakpia pathok yang menggugah selera lengkap dengan
aksesoris khas Jogja. Langit Jogja mulai menguning, deretan toko yang mulai
tutup tidak membuat surut para pengunjung untuk larut dalam euforia belanja. Akhirnya
kami pulang untuk salat maghrib sebelum berangkat ke Taman Lampion. Jogja di
malam hari lebih menggoda.
Kilau
lampu tak membuat kota ini berubah menjadi glamour
dan tidak ramah. Syahdu terasa kental dalam bisingnya jalanan oleh gelak
tawa pengunjung yang bahagia. Setelah mengelilingi Taman Lampion, kami beranjak
ke Tugu Jogja. Menatap kendaraan hilir-mudik tiada henti. Jogja, kapan kau
sepi? Malam makin larut hingga kami memutuskan untuk pulang. Esok, kami akan
naik kereta pagi menuju Bandung. Sebelum kereta berangkat, kami menyempatkan
diri menikmati gurih aren dalam hidangan gudek. Manis, namun tidak membuat
jenuh seperti yang biasa aku rasakan kala mencicipi gudeg di kota lain.
Pulang,
tiga hari terlalu singkat. Aku merasa belum puas. Lain kali, aku akan kembali
menjumpai dirimu lagi.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar