Sabtu, 23 Juni 2018

Tentang Menjadi Mahasiswa ITB


Euforia kelulusan
Menjadi mahasiswa ITB,lulus dari ITB adalah mudah untuk beberapa orang. Tapi menjadi sulit bagi beberapa orang yang lain. Dan saya adalah bagian dari populasi beberapa orang yang lain.
Padang Panjang,2007
Warna-warni jaket almamater menghiasi lapangan upacara bendera. Kuning, merah, hijau terang, hijau gelap, donker, dan beberapa warna lain berjejer di salah satu sisi lapangan rumput sekolah kami. Mereka adalah alumni SMA yang berhasil lulus ujian masuk kampus favorit. Katanya, untuk memotivasi adik-adik kelas agar bisa mengikuti jejak mereka. Namun bisik-bisik teman dari barisan belakang menginterpretasikan kedatangan mereka adalah ajang unjuk diri atas pencapaian yang mereka buat. Mungkin bisik-bisik ini ada benarnya karena beberapa dari mereka memilih mundur atau pindah kampus setelah satu tahun berlalu. Tapi tidak sedikit juga yang melejit, punya prestasi selangit.

Saya sendiri jatuh hati pada almamater warna hijau lumut. Tidak butuh waktu lama saya tahu bahwa itu adalah almamater mahasiswa ITB. Sejak hari itu saya bertekad masuk ITB. Menurut kacamata saya waktu itu, hijau lumut adalah warna almamater paling cool, bersahaja. Warna yang sangat serasi dengan kecerdasan pemakainya. Maka jadilah saya anak kelas satu SMA yang menuhankan ITB dalam banyak hal. Bahkan saya membuat target yang agak kurang waras : menikah dengan alumni ITB. Saya seperti tidak melihat ada tempat yang lebih baik dari ITB.

Padang Panjang,2010
Beberapa bulan sebelum berakhirnya masa SMA, saya merasa siap bertarung memperebutkan kursi ITB bersama anak-anak Indonesia lainnya. Dengan gamblang, saya meminta restu orang tua untuk merantau ke tanah jawa. Ternyata apa yang saya harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Orang tua yang sebelumnya selalu mendukung setiap keputusan yang saya buat menolak dengan tegas impian saya menjadi mahasiswa ITB. Harga karet terus merosot hingga bertahan di titik kritis. Ekonomi keluarga berada di bawah garis ambang. "Ayah dan Mak tidak punya pilihan lain selain hanya mengijinkanmu kuliah di Sumatera Barat. Kita tidak punya pilihan lain. Adik-adik butuh sekolah. Kita butuh makan. UNAND atau UNP adalah kampus yang tidak kalah bagus dari ITB."

Saya marah pada keadaan. Selama satu minggu saya murung dan sering menangis. Saya juga tidak cukup berani untuk menentang orang tua. Sesekali saya tergoda dengan ajakan nekad teman-teman. Namun saya selalu urung untuk membandel karena teringat pesan guru Ridho Allah terletak pada ridho orang tua. Akhirnya saya pasrah dan kembali pada mimpi masa SD, menjadi mahasiswa Universitas Andalas. Namun mimpi saya menjadi mahasiswa ITB tidak pernah pudar. Saya bertekad bisa masuk ITB dengan restu orang tua.

Padang, 2015
Singkat cerita, saya lulus dari Jurusan Fisika Universitas Andalas dengan nilai yang cukup biasa. Tidak punya banyak prestasi atau pengalaman organisasi. Hanya karena do'a orang-orang yang menyayangi saya bisa lulus menjadi awardee LPDP. Saya termasuk awardee yang konsisten dengan pilihan perguruan tinggi, tidak pernah berpaling untuk mencoba kampus tujuan selain ITB. Bahkan saat disarankan untuk memilih kampus cadangan, saya tetap tidak bergeming. Sepertinya hati saya memang sudah terpaut pada ITB.

Bandung, 2016
Akhirnya Allah berbaik hati mengijinkan saya menjadi mahasiswa sekolah gajah. Antusiasme bertemu dengan orang-orang hebat membuat saya tidak sabar untuk segera memulai perkuliahan. Agustus 2016 adalah bulan pertama saya duduk di ruang Boscha Kampus Ganesha. Semuanya terlihat mengagumkan. Ruang kelas, papan tulis, kapur, para dosen, dan teman-teman. Semuanya adalah hal baru buat saya. Purnama berganti, saya mulai resah dan merasa tidak cocok dengan budaya ITB yang cukup keras. Perkuliahan yang sulit, tugas yang banyak, teman dengan kecerdasan yang membuat saya tertekan, nilai yang porak-poranda membuat saya berpikir bahwa ITB memang bukan tempat yang cocok buat saya yang santai dan suka bermain. Saya harus cepat-cepat lulus. Jadilah di setiap bagian yang bisa ditulis terpampang kalimat Juli 2018 harus wisuda.

Awal tahun, 2017
Saya memutuskan untuk segera mengerjakan tugas akhir. Dengan banyak pertimbangan saya memilih Laboratorium Energi dan Material Lingkungan, Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik ITB. Menurut saya, ini adalah Lab dengan budaya yang paling cocok dengan sifat dan kepribadian yang saya miliki. Setelah ratusan episode eksperimen, akhirnya Allah dan pembimbing mengijinkan saya mengikuti sidang akhir. Tidak terhitung berapa banyak kegagalan yang saya dapat, berapa gram urea dan asam sitrat yang sudah saya buang dengan sia-sia, menjelajah pasar teknik Cikapundung hingga terdampar di tempat pemotongan akrilik Pasar Baru, ada banyak drama yang sudah saya buat sebelum akhirnya dinyatakan lulus. Semuanya manis untuk dikenang, namun tidak untuk diulang. Akhirnya, saya menuju akhir dari sebuah mimpi menjadi mahasiswa ITB. Namun, perjalanan mimpi buat saya adalah perjalanan tanpa titik, tanpa mengenal kata usai.

Tinggal menghitung hari, status pengangguran akan bertengger di atas pundak, membersamai tanggung jawab yang kian besar. Ini bukan akhir dari sebuah perjalanan. Ini adalah awal untuk tanggung jawab yang lebih besar. Sebagai Sang Pemimpi, saya menanamkan nasehat Arai pada alam sadar dan bawah sadar yang saya miliki. Tanpa mimpi, orang-orang seperti kita akan mati. Buat sebagian orang, masuk ITB dan lulus dari ITB adalah hal mudah dan sederhana. Sayangnya, saya adalah bagian dari populasi yang lain. Tidak mudah menjadi mahasiswa dan lulus dari ITB, lebih tidak mudah menjadi alumnus ITB.

Saya tidak pernah takut untuk bermimpi dan tidak pernah takut ditertawakan karena mimpi-mimpi yang saya miliki. Sejak kecil saya sudah biasa ditertawakan atas apa-apa yang sudah saya lalui. Saya tidak peduli dengan sanjungan ketika berhasil, atau ledekan akibat gagal. Sedari kecil saya sudah biasa disanjung dan diejek karena keberhasilan dan kegagalan. Lain waktu, akan saya ceritakan lebih detail. Lalu sekarang bagaimana? Sekolah lagi? Mencari kerja? Atau apa? Entahlah. Saya adalah tipe orang yang suka mencoba segalanya dan menyerahkan keputusan akhir pada Allah Sang Maha Penguasa. Yang jelas, saya masih menyimpan banyak mimpi. Satu di antaranya adalah belajar di Benua Kangguru (Australia). Kapan dan bagaimana caranya? Entahlah, saya juga tidak tahu. Sama dengan tidak tahu-nya bagaimana cara menjadi mahasiswa ITB waktu itu.

Tidak ada komentar: