Langsung ke konten utama

Postingan

Harmoni Alam Desaku

      Sengaja aku melipat selimut lebih cepat pagi ini. Rasa ngantuk tenggelam oleh hasrat untuk mengabadikan landscape desa dalam lensa. Bermodal kamera pocket sederhana, aku tenggelam oleh embun di atas rerumputan. Larut oleh siluet jingga yang kian jelas di ufuk timur. Ini yang membuatku selalu rindu untuk pulang. Halaman dengan hamparan rumput hijau. Walau sedikit kurang terawat, tetap saja memikat hati yang melihat.        Nama desaku Sungai Abang. Abang adalah kata lain untuk orange yang mendekati merah. Nama ini diambil dari warna air yang mengaliri salah satu sungai di desaku. Menurut cerita kakek, air sungai merah karena darah korban perang pada jaman penjajahan. ‘Dulu warnanya lebih merah lagi, menyerupai darah.’ Ini selalu dikatakan kakek setiap kali aku bertanya perihal air sungai yang tidak jernih.       Setelah aku analisis dengan pengetahuan yang didapatkan di bangku sekolah, ternyata tanah di hulu sungai yang menyeb...

Krutup Ikan

Ikan yang dibumbui-pembungkusan-penggorengan-matang Aroma khas daun kunyit semerbak dari letupan minyak dalam wajan penggorengan. Daun pisang pembungkusnya mulai berubah kecoklatan. Pagi ini aku masak krutup ikan. Masakan khas Sungai Abang, kampung halaman. Suara letupan tersebut menjadi alasan kuliner ini dinamai krutup ikan. Perbedaan mendasar antara krutup ikan dan pepes ikan adalah cara memasaknya yang digoreng. Pertama kali kuliner ini lahir adalah ide nenek moyang yang enggan membuang minyak jelantah berwarna hitam. Minyak jelantah dimanfaatkan untuk menggoreng krutup ikan. Tidak perlu khawatir minyak jelantah akan menodai ikan. Daun pisang digunakan untuk membungkus ikan agar tidak membaur dengan minyak selama proses pemasakan. Tidak ada rempah khusus untuk memasak krutup ikan. Hanya cara memasaknya yang spesial. Menggunakan arang kayu agar ikan masak sempurna dengan rasa berbeda jika dimasak menggunakan api kompor. Sebagai anak kos yang tidak memiliki tungku arang ...

My One-Day Trip

Left-right : Yeni, Riva, Rahman, and Melda A few days ago, I had one-day trip to Angso Duo island together with some of my buddies. They are Riva, Yeni, and Rahman. All of us took a train from Padang to Pariaman in the morning at seven o‘clock. But we had to queue up to buy our tickets since six o’clock. In this city, the departure schedule of train is twice a day. We chose the first departure from Padang to Pariaman. After waiting for one hour in the stall beside the station while having our breakfast, our journey to Pariaman was commenced. We have never met each other since graduating from our university. So, we excitedly spoke many stories that made our one a half journey in the train be wonderful. We were full of the joys of spring in the time. We laughed freely because of our happiness. Especially for me, this was my first time having holiday in Gondoria beach and Angso Duo island. I had never gone there before. When we firstly stepped our feet on the ground, our body ext...

I MISS MY MEMORABLE CHILDHOOD

            I want to go back to the time when my mother and I were always together. Before my brother and sister were born, I was the only one more than five years. Because of that, my mother was the most memorable friend in my childhood. My mother used to take me along her everywhere she went. Going to our family’s houses and neighborhood, to the market, to the river, or to our farm.             The most unforgettable moment in my childhood was when my mother got an extremely hard illness. For many days, my mother was only on the bed. She was not able to get up, cook, or do another household. I felt so sad because she could not play with me. I was taken care by my father. I often cried. That was not because I did not like my father, but I missed the kindness of my mother. When her healing was successful, I felt very blissful. My favorite part was going to the farm along with my mother. I liked he...

My Achilles Heel

      This is my first time writing in English. I absolutely feel frustrated because of my grammar. It is not easy when I must speak or write in English. In the other hand, I fully understand when I read articles or journals. My pronunciation is so bad that often makes people confusing. Occasionally, what I mean is different of the listener understanding. Shortly, English is my achilles heel.       In this writing, I want to tell you about my experiences with English. I knew English for the first time when I was a student of the fifth grade in the elementary school. In the time, I bought a book which had materials of many subjects. One of those was English. Although it was only a few of English, I was delightful. Because I did not know what the rules of English, I spelled all of words with the same way when I read Indonesian.       I did not have English teacher in my elementary school, because I lived in countryside. When I was a studen...

KELAS TERAKHIR : SELAMAT BERTEMU TEMAN

Perpisahan adalah hal yang pasti terjadi dalam setiap kehidupan. Jumat, 19 Februari 2016 adalah waktu terakhirku belajar di kelas PB (Pengayaan Bahasa) di ITB, program beasiswa LPDP. Delapan puluh satu hari telah berlalu. Ini kelas terakhirku bersama teman-teman dan guru-guru yang luar biasa. Kelas terakhir selalu mendatangkan perasaan bahagia sekaligus haru. Kelas terakhir adalah isyarat bahwa cerita ini perlahan tapi pasti akan terhenti. Sepertinya semua kisah akan berakhir sama seperti sebelumnya. Kita lulus SD, SMP, melepas seragam putih abu-abu, lalu melempar toga bersama. Di masa itu kita berjanji bahwa kita akan selalu berbagi, komunikasi tiada henti. Apalagi saat ini, dunia sudah terlalu canggih hingga kita bisa menyapa teman dari mana saja. Whatsapp , line , wechat , dan sejenisnya tak mampu membuat kita terus bersama. Itu hanya janji saat kita merasa haru ketika harus pergi ke jalan masing-masing. Esoknya, kita mulai malas untuk saling bertanya kabar. Tak ada yang salah d...

LELAKI PAYUNG

Adzan subuh berkumandang bersamaan dengan dering alarm. Dalam keadaan setengah sadar, aku mendengar titik hujan di atap. Mulanya pelan seperti bisikan. Lalu saling meningkahi dan berujung pada gemuruh berkepanjangan. Kubuka mata perlahan. Di sebelahku, adik menarik selimut dengan mata terpejam. Tak ada tanda untuk bangun. Lolongan alarm sudah ia matikan. Hujan di pagi hari memang demikian. Membuat betah di atas peraduan. Aku tidak demikian. Selama tiga bulan terakhir, hujan pagi adalah harapan. Bahkan setiap malam sebelum memejamkan mata aku berdo’a, ‘Tuhan, turunkan hujan di subuh-Mu esok hari.’ Buku harianku dipenuhi cerita hujan di pagi hari. Payung, gerimis, secangkir coklat panas, roti bakar, selai coklat, dia, dan mendung yang aku tulis dengan tinta berbagai warna. Dalam catatanku, hujan pagi begitu indah. Sama indahnya dengan harapanku yang mekar ketika hujan. “Kakak, tutup jendelanya. Ini dingin sekali.” Adikku ngomel karena bias-bias hujan masuk ke dalam rumah. Beginila...